A. LATAR BELAKANG
Teori kesatuan psiko-fisik atau teori psiko-fisik totalitas berkembang  karena para ahli menyadari bahwa oranq yang keadaan kejiwaannya  mengalami gangguan, karena rasa susah, gelisah atau ragu-ragu menghadapi  sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Akibat rasa susah dan  gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang dapat tidur nyenyak,  sehingga akhirnya mempengaruhi tingkahlaku dan penampilan¬nya.  Sebaliknya keadaan fisik yang kurang sehat, karena sedang sakit, sesudah  mengalami kecelakaan dan cidera, juga dapat mempengaruhi kejiwaan  individu yang bersangkutan; kurang dapat memusatkan perhatian pada  masalah yang dihadapi, kurang dapat berfikir dengan tenang, kurang dapat  berfikir dengan cepat, dsb-nya.
Sejak lebih kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal-balik  an¬tara jiwa dan raga, atau antara gejala fisik dan psikik, telah  menjadi bahan pembahasan para ahli psikologi. Ronge (1951) menyebutkan  manusia sebagai suatu organisme, yang mengikuti hukum-hukum biologi,  hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dsb. Perasaan atau emosi   memegang peranan penting dalam hidup manusia. Semua ge-jala emosional  seperti: rasa takut, marah, cemas, stress, penuh harap, rasa senang dsb,  dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang.  Perasaan atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologik seperti:  ketegangan otot, denyut jantung, peredaran darah, pernafasan,  berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu.
Sehubungan itu semua maka jelaslah  bahwa gejala psikik akan  mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet. Dalam hubungan ini pengaruh  gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat  mempengaruhi "psychological stability" atau keseimbangan psikik secara  keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapatan prestasi atlet.
Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai  prestasi yang tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan  tertentu; misalnya untuk  mencapai prestasi yang tinggi  dalam cabang  olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus dapat memusatkan  perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi  penuh meski ada gangguan angin atau suara, dll-nya. untuk, menjadi  peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet yang  bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya  konsentrasi, kemauan keras, koordinasi.gerak yang baik, dan rasa  keindahan; ini semua akan dapat, terganggu apabila atlet yang  bersangkutan mengalami gangguan emosional.
Emosi atau perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam  olahraga, karena emosi atlet di samping mempengaruhi aspek-aspek  kejiwaan yang lain (akal dan kehendak), juga mempengaruhi aspek-aspek  fisiologiknya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap peningkatan atau  merosotnya prestasi atlet.
Ditinjau dari konsep jiwa dan raga sebagai kesatuan yang bersifat  organis, maka gangguan emosional terhadap diri atlet akan berpengaruh  terhadap keadaan kejiwaan atlet secara keseluruhan, ketidak-stabilan  emosional atau "emotional instability" akan mengakibatkan terjadinya  psychological instability", dan akan mempengaruhi peran fungsi-fungsi  psikologisnya, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pencapaian  prestasi atlet.
B. MASALAH
Dalam permasalahan di atas penulis lebih menekankan beberapa masalah diantaranya :
1. Apakah pengertian dari Anxiety (kecemasan) dalam olahraga?
2. Apakah  pengertian dari stres dalam olahraga ?
3. Bagaimana upaya pengendaliannya
C. TUJUAN
Penulis menyusun makalah ini dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecemasan, stress dan upaya  pengendalian seorang atlet dalam mengahadapi masalah seperti dalam  olahraga  olahraga terhadap prestasi seorang atlet
2. Mengupayakan agar tugas dan peran pokok seorang pelatih untuk  membangun percaya diri seorang atlet dengan baik yang pada akhirnya  tujuan utama prestasi olahraga  bisa tercapai
D. MANFAAT
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar para  pelatih, guru dan orang yang bergelut didalamnya  melaui pemahaman akan  fungsi tugas dan perannya bisa meningkatkan kemampuan mendidik atau  mengajar terhadap anak didiknya serta mampu mengembangkan potensi diri  peserta didik, mengembangkan kreativitas dan mendorong adanya penemuan  keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga para Atlet/siswa mampu  bersaing dalam masyarakat global.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anxiety (Kecemasan) dalam Olahraga
Kita semua tentu pernah merasa takut atau cemas dalam berbagai situasi.  Takut dimarahi, takut tidak lulus, takut tidak puss, takut kalah, dan  sebagainya. Demikian pula atlet. Dalam menghadapi pertandingan, wajar  saja kalau atlet menjadi tegang, bimbang, takut, cemas, terutama kalau  menghadapi lawan yang lebih kuat atau seimbang, dan kalau situasinya  mencekam. Ketakutan pada atlet pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam  beberapa kategori (Cratty, 1973):
a. Takut gagal dalam pertandingan
b. Takut akan akibat sosial atas mutu prestasi mereka
c. Takut kalau cedera atau mencederai lawan
d. Takut fisiknya tidak akan mampu menyelesaikan tugasnya atau pertandingan dengan baik
e. (Dan percaya atau tidak), ada pula atlet yang takut menang.
Hasil-hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut  pada akibat sosial yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka.  Misalnya takut gagal memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, takut  dice¬mooh, dikritik, dikecam masyarakat.
1. Kecemasan dan Motif Berprestasi
Suasana stress wring sekali membuat seseorang hidup penuh gairah, karena  dapat mengatasi suasana penuh stress dapat menimbulkan kepuasan dan  kebang¬gaan pada diri seseorang. Yang lebih penting dalam pembinaan  atlet, yaitu me¬ningkatkan kemampuan mengatasi stress juga akan  menjauhkan kemungkinan atlet mengalami kecerr.asan.
Stress yang berlangsung terus-menerus dapat menimbuikan kecemasan,  karena itu tingkat ketegangan yang dapat menimbulkan stress harus selalu  dimonitor terus-menerus, disesuaikan dengan kemampuan atlet menghadapi  suasana stress. Di cam¬ping itu tingkat berat-rinqannya.4Qtegangan yang  dapat ditanagung oleh atlet, khususnya atlet yunior, juga harus selalu  diperhatikan karena stress atau ketegangan psikis yang terlalu besar,  yang tidak tertahankan oleh atlet, juga dapat menimbulkan kecemasan.
Crafty (1973) membedakan kemungkinan timbulnya kecemasan karena takut  cidera atau "harm anxiety" atau kecemasan karena takut gagal atau  "failure anxie¬ty". Dalam hubungan ini Crotty mengemukakan sebagai  berikut:
"Thus, failure anxiety is related to .the individual's perception of the  social consequences of his relative success or failure in a situation:  This type of fear was more important to most of the individuals polled  than was harm anxiety, or the fear of being physically incapacitated.
Penelitian lebih lanjut mengenai kecemasan karena takut cidera dan  kecemasan karena takut gagal, diakui oleh Crotty belum dikembangkan  lebih lanjut. Mengenai kecemasan karena takut gagal di satu pihak dan  harapan untuk sukses di lain pihak merupakan hal yang cukup menank untuk  dijadikan bahan studi. Sehubungan ini Crotty mengemukakan sebagai  berikut~
"The degree to which anxiety levels in an individual interfere with  performance, therefore, is probably related to the individual's feelings  about success vs. failure and his overall need for achievement."
Selama berlangsungnya Olympic Games 1968 oleh para ahli psikologi  olahraga telah diadakan penelitian mengenai hubungan antara kecemasan,  motif berprestasi, dengan penampilan para atlet. Atlet-atlet sebagai  subyek penelitian dibagi dalam empat kelompok, yaitu yang memiliki  kecemasan tinggi atau "high anxiety" dan yang memiliki kecemasan rendah  atau "low anxiety"; kemudian tiap kelompok tersebut dibagi lagi atas  dasar (kriteria) mereka yang memiliki motif berprestasi tinggi atau  "high needs for achievem  dan yang memiliki motif berprestasi rendah  atau "low needs for achievement
2. Kecemasan dan Prustasi
Antara stress, "arousal", dan kecemasan atau "anxiety", menurut Richard  H. Cox ada keterkaitannya. Kecemasan dapat didifinisikan sebagai  perasaan subyektif g berdasarkan ketakutan dan meningkatnya  "physiological arousal" (Levitt, 1980).
Mengenai hubungan stress dengan kecemasan, Soparinch dan Sumorno ,kum (1982) mengemukakan sebagai berikut:
"Bila stress yang dialami seseorang terlalu besar baginya, hingga tidak  dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi; atau bila stress yang dihadapi  seseorang berlangsung terus-menerus, maka akan timbul kecemasan.  Kecemasan adalah suatu perasaan tak berdaya, perasaan tak aman, tanpa  sebab yang jelas. Perasaan cemas atau anxiety kalau dilihat dari kata  "anxiety" berarti perasaan tercekik".
Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan  tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang  dan¬ternyata atlet tersebut mengalami kekalahan terns-mencrus. Rasa  cemas yang terjadi pada suatu keadaan tertentu disebut "State Anxiety".  Menurut Spielberger (1985) "state anxiety" adalah keadaan emosional yang  terjadi mendadak (pada waktu tertentu) yang ditandai dengan kecemasan,  takut, dan ketegangan; biasanya diikuti dengan perasaan cemas yang  mendalam disertai ketegangan dan "physiological arousal".
Di samping "state anxiety" juga dikenal "trait anxiety", yaitu rasa  cemas yang merupakan sifat-sifat pribadi individu. Trait anxiety  merupakan sifat pribadi yang lebih menetap (seperti sifat pembawaan).  Atlet yang memil.ikj "trait anxiety" biasanya menun-jukkan sifat mudah  cemas menghadapi berbagai permasalahan, khususnya pemasalahan yang  berhubungan dengan keamanan pribadinya atau "emotional securi¬ty"-nya.  Perasaan cemas pada dasamya terjadi karena individu khawatir akan  terganggu personal security"-nya, oleh karena itu individu yang  bersangkutan menunjukkan gejala cemas, yang mengandung rasa takut.
"State anxiety" merupakan gejala khusus bagaimana keadaan individu  menghadapi situasi tertentu yang mengganggu "personal security"-nya;  "state anxie¬ty" mempunyai rujukan obyektif (objective reference).  "Trait anxiety" sebagai sifat pribadi individu lebih bersifat tetap dan  akan tampak pada berbagai peristiwa atau situasi di mana individu yang  bersangkutan merasa terganggu "personal security"-nya; "trait anxiety"  mempunyai rujukan subyektif (subjective reference).
Sehubungan dengan gejala "trait anxiety" tersebut, Silva dan Weinberg  (1984) 'mengemukakan adanya gejala "competitive trait anxiety" (CTA)  pada sementara atlet. Gejala CTA tersebut pdalah gejaladi mana atlet  menunjukkan rasa cemas dan ttakut hanya pada waktu 'akan menghadapi  kompetisi saja, dan sesudah selesai kompetisi adet tersebut tidak  menunjukkan kecemasan atau menjadi normal kembali Robert J. Sonstroem  (1984) dalam tulisan yang berjudul: "An Overview of Anxiety in Sport"  yang dihimpun oleh Silva dan Weiberg dalam "Psychological Foundations of  Sport", mengemukakan penelitian Davidson dan Schewartz (1976) yang  menggunakan postulat (anggapan dasar) bahwa persepsi mengenai kecemasan  dapat dibedakan atas komponen kognitif dan somatik. Dengan kuesioner  dikembangkan ciri-ciri pengalaman rasa cemas; dan pengelompokan atas  dasar ciri-ciri tersebut digunakan untuk menetapkan sistem, perlakuan  yang dianjurkan Borkovec (1976) sebagai berikut:
"That is, cognitive anxiety reduction is more compatible with  self-instruction and thought-stopping methods, for example, and somatic  anxiety reduction is better accomplished with methods such as progresive  relaxation, biofeed¬back, and Qxercice."
Temuan Davidson dan Schwartsz tersebut, merupakan temuan yang sangat  berguna untuk dapat diterapkan dalam menyusun program pembinaan mental  atlet, sehubungan dengan perbedaar.-perbedaan individual atlet yang  menunjukkan gejala kecemasan.
3. Frustasi dalam Olahraga
Frustrasi timbal karena individu merasa gagal tidak dapat mencapai suatu  tujuan yang diinginkan. Setiap atlet ingin mendapat kepuasan, ingin  terpenuhi kebutuhan¬nya, ingin mencapai harapan untuk menang; dan  apabila hal tersebut tidak terwujud, maka dapat menimbulkan frustrasi.
Sebetulnya frustrasi bukan hanya disebabkan karena kegagalan saja,  tetapi terutama datang dari dalam diri atlet itu sendiri yang diliputi  perasaan gagal. Cukup banyak atict.yang gagal dalam suatu pertandingan  atau gagal mencapai prestasi sesuai apa yang diinginkan, tetapi tidak  mengalami frustrasi.
Dalam hubungan dengan kemungkinan terjadinya frustrasi ini pelatih harus  memasukkan program latihan untuk menyiapkan atlet agar slap menghadapi  kemungkinan mengalami kegagalan, disamping mendorong atlet untuk  berprestasi setinggi-tingginya. Kesiapan mental untuk menghadapi semua  kemungkinan, termasuk juga kemungkinan kalah dalam pertandingan  merupakan tugas pelatih untuk menyiapkan seorang calon juara.
Frustrasi dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun  atlet yang mempunyai sifat optimis. Pada atlet yang mempunyai sifat  pesimis, pada waktu ia menghadapi kenyataan kurang berhasil atau belum  berhasil, mungkin  atlet tersebut sudah merasa gagal lebih dahulu. Atlet  yang memiliki sifat-sifat pribadi pesimis mudah mengalami frustrasi,  karena dalam mengalami kegagalan sedikit saja, dianggapnya sebagai  kegagalan yang akan dialami seterusnya. 
Seorang atlet yang mempunyai sifat optimis adalah baik, karena tanpa  memiliki sifat optimis atlet tidak akan maju; Haman tertalu optimis juga  kurang menountungkan. Atlet yang terlalu optimis adalah atlet yang  mempersepsikan diri memiliki kemam-. puan lebih dari keadaan senyatanya,  yaitu lebih dari kemampuan yang dimiliki sebenar nya. Hal semacam ini  terjadi pada atlet yang "over-confidence". Atlet yang terlalu optimis,  pada waktu mengalami kegagalan, mudah kecewa, kehilangan keseimbangan  ernosinya. Sudah barang tentu hal semacam ini kurang menguntungkan,  karena tidak stabiInya emosi akan mengganggu stabilitas psikisnya secara  keseluruhan; ini berakibat konsentrasinya terganggu, reaksinya  berkurang, koordinasi geraknya juga terganggu, dsb-nya. 
Pada dasarnya frustrasi lebih mudah terjadi pada atlet yang belum  memiliki kematangan emosional, hal ini juga berkaitan dengan sifat-sifat  kepribadian atlet yang bersangkutan. Kepercayaan pada diri sendiri  merupakan hal yang perlu sekali ditanamkan sejak dini, karena percaya  diri merupakan salah satu hal yang memben¬tuk kemampuan menghindarkar,  diri dart kemungkinan terjadinya frustrasi. Menum¬buhkan rasa percaya  diri merupakan salah satu program latihan mental yang perlu diperhatikan  para pelatih.
Tidak sedikit atlet berbakat yang dapat berprestasi tinggi dan dapat  menjadi juara, akhirnya gagal dan hilang ditengah perjalanan hidupnya  sebagai atlet yang ber¬prestasi, karena merasa gagal dan mengalami  frustrasi. Untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya frustasi ,sejak  dini secara sistematis atlet perlu dilatih menghadapi  tantangan-tantangan untuk diatasi. Keadaan penuh ketegangan atau stress  menghadapi tantangan akan dapat menimbulkan proses adaptasi, yaitu  penyesuaian diri sehingga akhirnya cukup mampu mengatasi kemungkinan  frustrasi.
Seorang.atlet yang cukup mampu untuk.merigatasi kemungkinan mengalami  frustrasi, disebut juga atlet yang memiliki "a bight frustration  tolerance" (Crotty, 1973). Menurut Saparinah dan Sumarno Markam (1982),  atlet-atlet yang bare terjun dalam kompetisi, mempunyai "ambang stress"  yang lebih rendah daripada yang sudah lama terjun dalam kompetisi.  Karena yang sudah lama terjun dalam kompetisi sudah lebih terlatih dan  sudah terbiasa dengan pengalaman yang penuh dengan stress di masa lalu. 
Pernyataan Saparinah dan Sumarno Markam tersebut lebih menunjang  perlunya pembinaan mental sejak dini; suasana kompetisi yang penuh  stress dapat diciptakan sejak dini sehingga dapat meningkatkan kemampuan  talon atlet mengatasi stress, dan sekaligus akan menghindarkan  kemungkinan mengalami frustrasi.
B. Stres Dalam Olahraga (Gejala emosional)
Seperti halnya otot-otot kita mengalami ketegangan karena melakukan jaan  fisik maka kitapun dapat mengalami ketegangan psikik, yang disebut  "stress".Menurut Gauron (1984) stress seperti halnya ketegangan otot  tidak dapat dielakan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita tidak  dapat menghindarkan ketegangan  psikik atau stress, beberapa ketegangan  diperlukan dan beberapa ketegangan tidak diperlukan dalam penampilan dan  melakukan tugas. Menurut Gauron kurangnya ketegangan atau "lack of  tension" akan berakibat kita tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik.  Untuk dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu dibutuhkan adanya  ketegangan otot-otot, dimana ketegangan tersebut sangat diperlukan  kemanfaatannya.
Setiap atlet yang bertanding dalam suatu per-isdwa olahraga merasakan  adanya  peningkatan ketegangan emosional untuk mengap.tisipasi situasi  pertandingan yang dihadapi. Singer (1986) mengemukakan bahwa aktivitas  penuh ketegangan tidak selalu jelek bagi seorang atlet. Ditinjau dari  macam reaksi mental dan emosional, Singer menunjukkan dues gejala yang  berhubungan dengan emosi, yaitu: tidak adanya kesiapan dan penuh  kesiapan. Tidak adanya kesiapan atau "under readiness" ada hubungan  dengan kurangnya motivasi, sedangkan "over readiness" atau penuh  kesiapan berhubungan dengan kesiapan untuk menang atau penampilan buruk,  ketakutan akan kalah, dsb-nya.
Stress atau ketegangan psikik bentulmya dapat beraneka macam. Menurut   Gauron (1984) stress menunjukkan gejala tidak sama terhadap  tantangan-tantangan Yang dihadapi, untuk dapat melakukan adaptasi.  Menghadapi stress, badan manusia Mengadakan reaksi dengan cara-cara atau  bentuk yang konsisten, ada pengerahan atau"arousal"system syarat  otonom"tertentu.Jadi gejala stress menurut Gauron tersebut dapat lebih  bervariasi dibanding "tension" atau ketegangan fisik yang dialami  seseorang.
1) Stress dan Pertandingan
Menurut Scanlan (1984) dalam tulisannya yang berjudul: "Competitive  Stress and the Child Athlete" yang dimuat dalam buku "Psychological  Foundations of Sport" mengemukakan bahwa "competitive stress"  atau  stress yang timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emosional yang  negatif pada anak apabila rasa harga-dirinya merasa terancam. Hal  seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap pertandingan sebagai  tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan  penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan  akibat dari kekalahannya.
Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang  diharapkan mendapat tantangan, sehingga kemungkinan tidak tercapainya  harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan  emosional, yang akhir¬nya berpengaruh terhadap proses-proses psikologik  maupun proses fisiologik.
Spielberger (1986) ja am tulisannya mengenai "Stress and Anxiety in  Sports" dalam kumpulan karya ilmiah yang dihimpun oleh Morgan berjudul  "Sport Psychology" (1986) menegaskan bahwa stress menunjukkan  "psychobiological process" yang kornpieks, can proses ini pacia  ainuinnyd Llefjdoil caidm situasi yang mengandung nai yang dapat  merugikan-, berbahaya, atau dapat menimbulkan frustrasi (stressor).
"Stressor" menurut Spielberger (1986) menunjukkan situasi-situasi atau  stimuli yang secara obyektif ditanJai dengan adanya tekanan fisik  ataupun psikologik atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. situasi  penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam  tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia.
Reaksi yang berbeda-beda akan muncul dalam menghadapi "stressor",  tergan¬tung pada situasi tertentu yang diperkirakan mengandung ancaman.  Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian individu terhadap  situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung  bahaya. Dalam hubungannya dengan aktivitas olahraga, khususnya  kemungkinan terjadinya stress menghadapi pertandingan, maka  permasalahannya sangat banyak tergantung pada din atlet yang  bersangkutan.
Mengenai timt)ulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan:
1. "Because stress is an inevitable part of life, it cannot be avoided.
2. Since stress is inevitable, individuals must reduce its effects and cope through a personal stress management program.
3. Chronic stress may have adverse effects upon the body particularly if it is not taught to relax". 
Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman  bagi seorang atlet, tetapi hanya merupakan tantangan bagi atlet lain,  dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi dari  pengalaman-pengalaman mengenai an¬caman, ada hubungannya dengan keadaan  mental atlet yang bersangkutan. 
Mengenai ancaman dalowikaitannya dengan keadaan mental atlet,  Spielberger (1986) mengemukakan'adanya dua karakteristik pokok, yang  disimpulkannya sebagai berikut:
'Thus, the experience of threat is, essentially, a state of mind which has two mein characteristics:
1) It is future-oriented, generally involving the anticipation of a potentially harmful event that has not yet happened; and
2) It is mediated by mental activities-peerception, thought, memory, and judg¬ment which are involved in the appraisal process".
Penilaian adanya ancaman yang dihadapi clan adanya penilaian bahaya yanq   dihadapi (masa depan) memberi andil penting terhadap timbulnya reaksi  emosional serta tindakan yang akan diambil individu menghindari ancaman  atau bahaya dihadapinya.
2. Arousal" dan "Inverted U"
Arousal" adalah hal yang tidak dapat dielakkan seperti timbulnya  ketegangan fisik atau "tension" dan stress. Yang dimaksudkan dengan  "arousal" adalah gejala yang menunjukkan adanya pengerahan peningkatan  aktifitas psikis.  Teriadinya gejala "arousal" biasanya berjalan sejajar  dengan terjadinya peningkatan penampilan atlet; dengan kata lain ada  korelasi positif antara "arousal" dengan penampilan atlet.
Menurut Cox (1985) "arousal" adalah suatu istilah netral yang  menunjukkan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatetis. Ini  menunjukkan intensitas peningkatan giologis, dan tidak dapat digunakan  untuk menunjukkan keadaan emosional terten¬tu. Misalnya, baik orang  dalam keadaan senang maupun dalam keadaan takut, ke duanya dapat  menyebabkan "arousal" fisiologis; meskipun rasa takut adalah qeja4, afek  yang bersifat negatif, sedangkan senang atau gembira adalah gejala afek  yang bersifat positif.
Mengenai hubungan antara "arousal" dan penampilan atlet yang digambarkan   sebagai garis lurus (garis linear), seolah-olah ada korelasi positif  antara "arousal" dengan peningkatan penampilan secara terus-menerus,  mendapat tantangan antara lain dengan munculnya teori "Inverted U" atau  teori U terbalik. Menurut teori "Inverted U" baik arousal" tingkat  rendah maupun tingkat tinggi tidak akan menghasiikan penampilan yang  setinggi-tingginya ("peak performance'). Tingkat "arousal" moderat  (sedang) pads umumnya memberi kemungkinan lebih besar untuk pencapaian  puncak penampilan atau "peak performance".
Richard H. Cox (1985) mengemukakan adanya dua teori dasar mengenai  hubungan "arousal" dan penampilan; yang pertama adalah teori "Inverted  U", dan yang ke dua adalah teori drive. Teori "drive" adalah teori  multidimensional mengenai l(Rampilan dan proses bellajar, sedangkan  teori "Invel–ted U"  meliputi berbagai sub- teori yang menjelaskan  mengapa saling hubungan antara "arousal" dan penampilan ,ituk kurve  persamaan kuadrat. Teori "drive" membentuk gars hubungan linear.
Dewasa ini para ahli cenderung lebih setuju dengan teori "Inverted U"  diban ding teori "Drive" yang digambarkan dengan garis linear (seperti  pada Gambar 1. Hubungan secara positif yang menunjukkan adanya korelasi  positif, yaitu peningkatan "arousal' akan  selalu diikuti peningkatan  penampilan; sudah dapat dibayangkan bahwa pada suatu waktu tentu ada  batasnya di mans garis hubungan korelasi positif akan berhenti.
Gambar 1. Perbedaan teori "Drive" dan "Inverted U"
Sumber : Cox, Richard H. (1985). Sport Psychology Concepts and Application.
Kalau ditelusuri lebih jauh, maka penemu teori "Inverted U" yang  merupakan hasil karya klasik adalah Yerkes dan Dodson pada tahun 1908  (Cox, 1985) Yerkes dan Dodson pada waktu itu menemukan saling hubungan  antara "arousal" dan kesukaran tugas terhadap, dampaknya pada  penampilan.
Untuk menelid "arousal", cukup banyak "electrophysiological indicators"  un¬tuk mengetahui gejala "arousal", misalnya: dapat diukur dengan  "elec-troencephalograph" (EEG), mengukur denyut jantung dengan  "electrocardiograph" (EKG), mengukur ketegangan otot dengan  "electromyograph" (EMG), kecepatan per-nafasan, tekanan darah, keringat  pada telapak tangan, dsb-nya.
Menurut Joseph B. Oxendine (1980) yang menulis tentang "Emotional  Arousal amt Motor Performance" datum kutnpulan karya ilmiah yang himpun  Richard N. Suinn "Psychology in Sports", ada hubungan antara kecemasan  dengan "emotional arousal". Apabila seseorang berbicara tentang  "emotional arousal" maka is akan menghubungkan dengan salah sate atau  beberap5 jala negatif seperti: rasa takut, marah, rasa cemas, iri-hati,  rasa malu, berki; )emu, dsb-nya. Gejala-gejala yang positif misalnya:  gem¬bira, sangat berminat, bahagia, cinta, dsb-nya.
"Arousal" emosional yang negatif dapat mengganggu atau mengacaukan  penampilan atlet. Mengenai hal ini juga pernah diteliti oleh pars ahli  psikologi olahraga selama berlangsungnya Olympic Game 1968, 
C. Upaya Pengendaliannya terhadap kecemasan dan stress dalam olahraga 
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety) dan stress dalam olahraga  penulis garis bawahi diantaranya: 1. Strategi Relaksasi, 2. Strategi  kognitif, 3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan mekanisme pertahanan  diri
1.  Strategi Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan saat seorang atlet berada dalam kondisi  emosi yang tenang, yaitu tidak bergelora atau tegang. Keadaan tidak  ber¬gelora tidak berarti merendahnya gairah untuk ben-nain, melainkan  dapat diatur atau dikendalikan pada titik atau daerah Z sesuai dengan  hipotesis U-terbalik.
Untuk mencapai keadaan tersebut, diperlukan teknik-teknik tertentu  melalui berbagai prosedur, baik aktif maupun pasif. prosedur aktif  artinya kegiatan dilakukan sendiri secara aktif. Sementara itu, prosedur  pasif ber¬arti seseorang dapat mengendalikan munculnya emosi yang  bergelora, atau dikenal sebagai latihan autogenik.
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada  awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang  berada dalam keadaan sepenul-inya relaks tidak akan memperli¬hatkan  respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada ta¬hun  1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi  cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relak¬sasi  progresif (Progressive Relaxation Training).
Dengan latihan relaksasi, Jacobsen percaya bahwa seseorang dapat diubah  menjadi relaks pada otot-ototnya. Sekaligus juga, latihan ini  me¬ngurangi reaksi emosi yang bergelora, baik pada sistem saraf pusat  mau¬pun pada sistem saraf otonom. Latihan ini dapat meningkatkan  perasaan segar dan sehat.
Kira-kira pada waktu yang bersamaan, seorang dokter di Jerman bernama  Johannes Schultz, memperkenalkan suatu teknik pasif agar se¬seorang  mampu menguasai munculnya emosi yang bergelora. Schultz menyebut latihan  tersebut sebagai Latihan Autogenik (Autogenic Training). Teknik ini  dapat melatih seseorang untuk melakukan sugesti diri, agar is dapat  mengubah sendiri kondisi kefaalan pada tubuhnya untuk mengen¬dalikan  munculnya emosi yang terlalu bergelora. Setelah diajarkan cara¬cara  untuk melaksanakannya, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli  terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti  diri (auto-sugestion technique). Jadi, dengan melakukan autogenic  training, seorang atlet dapat mengubah sendiri kondisi kefaalannya. Ia  juga dapat mengatur dan mengendalikan pemunculan emosinya pada tingkatan  yang dikehendaki.
Beberapa contoh dari latihan ini adalah latihan untuk merasakan berat  dan panas pada anggota gerak, dengan ungkapan, "Saya rasakan le¬ngan  kanan saya berat", "saya rasakan lengan kanan saya panas dan re¬laks."  Latihan pemapasan atau pengaturan aktivitas jantung dan paru¬paru,  dengan contoh ungkapan, "Pemapasan saya lebih tenang dan de¬nyut jantung  saya berdetak lebih lambat". Serta latihan untuk merasakan panas atau  dingin pada perut clan dahi. "Da-hi dan perut saya lebih dingin." Jadi,  latihan autogenik merupakan suatu latihan yang menitikberatkan munculnya  kemampuan pengendalian gejolak emosi pada tubuh.
Kemudian, sekitar tahun 1950-an, seorang tokoh beraliran behavior¬istik,  Joseph Wolpe, melakukan modifikasi dari teknik relaksasi milik  Jacobsen. Wolpe menganggap bahwa teknik milik Jacobsen tersebut me¬makan  waktu terlalu lama. Ia lalu merancang teknik yang lebih pendek, lebih  sederhana, dan lebih mudah dilakukan. Teknik ini dikenal dengan narna  latihan relaksasi progresif yang merupakan dasar untuk melakukan  pengebalan sistematik (systematic desensitization). Teknik ini digunakan  untuk menangani seseorang yang memiliki masalah ketegangan dan  ke¬cemasan. Mereka yang membutuhkan dapat diajarkan untuk melakukan  teknik tersebut sendiri, dengan mempergunakan alat biofeedback (EMG).
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang digunakan, baik oleh Jacobsen  maupun Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, ke¬mudian  bermunculan model-model relaksasi barn sebagaimana yang di¬kemukakan  oleh Bernstein & Borkovec (1973) dan Bernstein & Geffen (1984).
Dalam perkembangan selanjutnya, latihan relaksasi progresif digu¬nakan  sebagai teknik tersendiri, tidak lagi sebagai bagian dari pendekatan  behavioristik. Awalnya, latihan relaksasi progresif ini digunakan oleh  pa¬sien penderita kecemasan atau ketegangan yang bersumber pada gejolak  emosinya.Latihan relaksasi progresif juga dapat dilakukan melalui suatu  alat yang dikenal dengan sebutan biofeedback atau EMG (elektromyografi).  EMG memiliki fungsi mencatat atau merekam intensitas ketegangan  otot¬otot seseorang, untuk kemudian ditampilkan dalam bentuk ukuran  angka¬angka, misalnya +3 atau +10. Dengan menggunakan alat tersebut,  sese¬orang dapat memantau tingkatan ketegangan sebelum maupun sesudah  dilakukan latihan.
Dengan adanya kemampuan untuk memantau perubahan tingkatan ketegangan  pada diri sendiri, maka ketegangan otot-otot dapat diatur sampai pada  keadaan relaks yang dikehendaki. Arti praktisnya adalah, seseorang dapat  mengatur ketegangan-ketegangan ototnya menjadi lebih relaks, sehingga  gejolak emosinya pun menjadi lebih tenang. Apabila penggunaan  biofeedback telah dilakukan berkali-kali, maka relaksasi dapat dilakukan  kapan pun dan di mana pun, tanpa membutuhkan alat biofeed¬back lagi.
Oleh karma itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari  modifikasi agar latihan relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format  yang lebih pendek dan praktis. Apabila seseorang telah beberapa kali  ber¬hasil dalam keadaan relaks, maka pengelompokan otot dapat diperbesar  menjadi lima kelompok, yaitu:
1.  Lengan dan tangan bersama-sama.
2. Semua otot muka.
3. Dada, pundak, punggung bagian atas, perut.
4. Pinggul dan pangkal paha.
5. Kaki dan tapak kaki.
Contoh lain dari modifikasi tersebut adalah teknik pernapasan atau  breathing technique. Teknik ini banyak dilakukan oleh para atlet karma  da¬pat dilakukan di sembarang tempat, misalnya di pinggir arena  pertan¬dingan, saat menunggu waktu untuk bermain, demikian pula pada  saat gejolak emosi sedang memuncak, misalnya pada malam sebelum  pertan¬dingan, atau beberapa jam sebelum pertandingan.
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
1. Meningkatnya pemahaman mengenai ketegangan otot. Artinya, ada  pemahaman bahwa gejolak emosi berpengaruh terhadap ketegangan otot dan  sebaliknya.
2. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan ketegangan otot.
3. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan kegiatan kognitif, yaitu  meliputi kemampuan pemusatan perhatian terhadap suatu objek 
4. Meningkatnya kemampuan untuk melakukan kegiatan.
5. Menurunnya ketegangan otot.
6. Menurunnya gejolak emosi karena pengaruh perubahan kefaalan.
7. Menurunnya tingkat kecemasan, serta emosi-emosi negatif lainnya.
8. Menurunnya kekhawatiran dan ketakutan.
Selain latihan relaksasi progresif, dalam melakukan perubahan atau  rnodifikasi suatu perilaku, dikenal pula suatu teknik yang disebut  sebagai systematic desensitization atau teknik pengebalan sistematik.
Jika terdapat suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan tidak  menguntungkan sehingga mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan  ditampilkan dalam emosi tegang, maka tentu akan berakibat buruk  terhadap penampilan. Seorang atlet dapat Baja merasakan  ketakutan-ke¬takutan tertentu pada saat bertanding, seperti hal-hal yang  berkaitan de¬ngan lawan tandingnya, suhu arena atau cuaca pada umumnya,  angin, sorakan penonton, atau penilaian dari tokoh-tokoh tertentu yang  sedang menyaksikan.
Namun demikian, keadaan-keadaan seperti ini merupakan hal yang mutlak  harus dihadapi. Oleh karena itu, seorang atlet harus mampu menghadapi  keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan sebagaimana disebutkan di atas.  Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi terse-but merupakan  keterampilan individual dan khusus yang diajarkan oleh pelatih atau  psikolog olahraganya.
Teknik pengebalan sistematik (systematic desensitization) merupakan  latihan bertahap untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu rangsang,  sehingga terbentuk habituasi atau pembiasaan. Suatu rangsang yang  awalnya menimbulkan gejolak emosi yang sangat tinggi, melalui latihan  sistematik tertentu, lambat-laun tidak lagi dipersepsikan negatif.  Secara bertahap, akan terjadi pengurangan atau pengenduran reaksi emosi,  se¬hingga gejolak emosi pun menjadi stabil.
Jadi, sumber rangsang tidak diubah atau diganti, melainkan di dalam diri  atlet terjadi perubahan secara sistematik Gejolak emosi yang pada  awalnya sangat tinggi saat menghadapi suatu keadaan, lambat-laun  men¬jadi berkurang. Ini merupakan prinsip sistematik desensitisasi, atau  upaya untuk mengatur reaksi-reaksi emosi yang bergejolak dalam  batas-batas proporsi yang wajar dan tidak merugikan.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental meditation atau meditasi  transendental. Teknik ini merupakan relaksasi yang dikembangkan dari  tradisi India, diperkenalkan di Amerika pada awal tahun 1960-an oleh  se¬orang pendeta India, Maharishi Mahesh Yogi.
Keith Wallace dari UCLA merupakan salah satu psikolog pertama yang  menyelicliki mengenai teknik tersebut. Penelitian Wallace (1971)  me¬nunjukkan bahwa teknik tersebut memberikan efek luar biasa pada  tubuh, yaitu detak jantung menurun sampai stabil clan peredaran asam  laktat menjadi tiga kali lebih cepat dibandingkan saat beristirahat  biasa.
Meditasi transendental merupakan teknik mental yang dapat di¬praktekkan  setiap pagi dan malam selama 15 sampai 20 menit, saat sese¬orang duduk  nyaman dengan mats tertutup sambil memikirkan suatu 'mantera' tertentu.  Setelah 20 menit, ketegangan tubuh akan mengenclor total dan orang yang  bersangkutan akan mengalami kondisi yang segar dan dinamis, percaya  diri, serta siap untuk beraksi.
Meditasi transendental dilakukan seseorang dengan memusatkan perhatian  dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan ke¬giatan  tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang nyaman,  tanpa terganggu atau teralih perhatian dan konsentrasinya. Apabila hal  tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh keadaan relaks.
Selama meditasi, tubuh akan mencapai tahap sadar sepenuhnya na¬mun tanpa  beban pikiran apa pun. Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap  menghadapi rangsang apa pun, serta siap memberikan respons yang sesuai  dan optimal.
2.  Strategi Kognitif
Strategi kognitif didasari oleh pendekatan kognitif yang menekankan  bahwa pikiran atau proses berpikir merupakan sumber kekuatan yang ada  dalam diri seseorang. Jadi, kesalahan, kegagalan, ataupun kekecewaan,  tidak disebabkan oleh objek dari luar, namun pada hakikatnya bersumber  pada inti pikiran atau proses berpikir seseorang.
Misalnya, seorang atlet bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttle¬cock  karena berat atau kecepatannya berbeda dari biasanya, karena yang  menentukan sesuai atau tidaknya caranya memukul dan kekuatan pu¬kulan  adalah proses berpikir atlet tersebut. Jadi, yang seharusnya diubah  adalah pengendali perilaku atlet, dalam hal ini gerakan atau pukulannya,  agar dapat menyesuaikan dengan keadaan khusus. Dari penjelasan ini,  tampak bahwa proses kognitif merupakan sumber dari semua perilaku pada  atlet.
Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah  kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang.  Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian  terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya  latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan ke¬giatan  menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang  akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses  ber¬pikirnya.
Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat  kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya.  Per¬golakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh  atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety.
3. Teknik-teknik Peredaan Ketegangan
Hanya mengetahui "apa" atau "the what"saja mengapa atlet tegang atau  takut tanpa mengetahui "the how" atau "bagaimana" cara penyembuhannya  tidaklah banyak man¬faatnya dan tidak akan menolong atlet. Oleh karena  itu, pelatih sebaiknya juga mempersenjatai diri dengan kete¬rampilan  bagaimana cara meredakan ketegangan yang ada pada atlet. Ada beberapa  teknik yang bisa membantu menu¬runkan atau mengurangi ketegangan atlet  (desensitizatioll, techniques). Antara lain:
a. Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan mengu¬rangi arti pentingnya  pertandingan dalam benak atlet, atau mengurangi ancaman hukuman kalau  atlet gagal.
b. Teknik Cratty. Dengan teknik ini, mula-mula disusun suatu urutan  (hierarki) anxiety yang dialami atlet, dari Yang paling ditakuti sampai  yang paling kurang ditakuti oleh atlet. Pada permulaan, atlet dihadapkan  pada situ¬asi yang paling sedikit membangkitkan anxiety. Setelah atlet  terbiasa dan tidak takut lagi dengan situasi terse-but, dia kemudian  dilibatkan dalam situasi takut yang agak lebih berat. Demikian  seterusnya.
c. Teknik progressive muscle relaxation dari Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot yang tegang dijadikan relaks.
d. Teknik autogenic relaxation, yaitu toknik relaksasi Yang menekankan pada sugesti diri (self-suggestion). 
e. Latihan pernapasan dalam (deep breathing). 
f. Meditasi. 
g. Berpikir positif.
h. Visualisasi.
i. Latihan simulasi: pada waktu latihan, berlatihlah de¬ngan menciptakan  situasi seakan-akan sedang betul¬betul bertanding, dan usahakan untuk  tampil sebaik¬baiknya. Lakukan latihan dengan intensitas yang tinggi  seperti dalam pertandingan sebetulnya. Biarkan atlet mengalami stres  fisik maupun mental.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan  lama-kelamaan ketegangan atlet akan ber¬kurang pada waktu menghadapi  stres.
4.  Mehanisme pertahanan diri
Anxiety, kekhawatiran, dan ketakutan yang berke¬camuk dalam diri atlet  adalah gejala yang umum dalam olahraga. Anxiety dan ketakutan adalah  reaksi terhadap perasaan "khawatir akan terancam pribadinya". Karena  anxiety yang dialami atlet adalah sesuatu keadaan yang sangat tidal?  enak dan selamanya akan berkecamuk dalam kehidupan seorang atlet, maka  dibutuhkan suatu mekanis¬me di dalam kepribadiannya untuk inenolongitya  inengotasi atau ineinb,-baskan dirinya dari anxiety tersebut. Mekanis¬me  ini biasanya disebut security operation atau defense inechanisin. Jadi  mekanisme ini berfungsi sebagai alai agar kepribadiannya tidak merasa  terancam. Sering kali meka¬nisme ini bekerja demikian efektif sehingga  atlet benar¬benar terlindung dari perasaan cemas tersebut.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan  demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim  manajer, pengurus dan lain-lain.
Memang mungkin saja alasan yang dikemukakan atlet, pelatih, Tim Manajer,  Pengurus, KONI, dan lain-lain me¬mang betul karena lapangan licin, bola  tidak bundar, banyak angin, penonton ribut. Akan tetapi kebanyakan  alasannya tidak rasional dan hanya merupakan manifestasi dari pera¬saan  kecewa karena mengalami kegagalan, serta kedok agar terhindar dari  perasaan cemas dan takut akan dikritik, di-cemooh, dikecam oleh  masyarakat, dan agar mereka tidak disalahkan oleh masyarakat atas  kekalahan atau kegagalan mereka. Karena itu penyebab kegagalannya  dilimpahkan kepada orang atau benda lain di luar dirinya. 
Sebagai pelatih, kita harus mendidik dan melatih para atlet agar tidak  membiasakan diri menggunakan defense inechanisin yang tidak wajar  sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas. Sebab-sebab dari setiap  kegagalan haruslah didiskusikan, dievaluasi, dianalisis secara rasional,  intelek¬tual dan inteligen. Pelatih harus mengajarkan dan mendidik  atlet agar tidak meremehkan kegagalan, dan menilai setiap kegagalan  dengan penuh pemahaman dan pengertian yang wajar. Dengan demikian  dapatlah diharapkan pula bahwa maturitas mental para atlet sedikit demi  sedikit dapat dikembangkan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat simpulkan antara lain :
1. bahwa (a) atlet harus dilatih agar tingkat Kecemasan, stress dan  ketegangannya makin lama makin rendah (tapi jangan hilang sama sekali),  dan (b) ambisinya untuk menang semakin ditingkatkan.
2. Menjadi semakin penting untuk memberikan latihan-latihan peredaan  kecemasan, stress dan ketegangan kepada atlet-atlet atau anak didik.
3. petunjuk-petunjuk peredaan Anxiety dan kecemasan  akan efektif  apabila diberikan pada saat-saat men¬jelang permulaan dan akhir  pertandingan.
B. Saran
Membahas tentang anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya   maka ada beberapa saran yang dapat digaris bawahi dalam makalah ini  antara lain : 
1. Didalam memahami anxiety dan stress dalam olahraga serta  pengendaliannya diharapkan setiap individu mampu dan memahami tentang  anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya. Pada hakikatnya  setiap individu diharapkan  mampu memahami anxiety dan stress dalam  olahraga serta pengendaliannya ini, yakni keluarga pendidik dan penentu  kebijakan yang berkepentingan didalamnya sebagai tempat atau wadah  pengembang pendidikan agar menjadi lebih luas dalam perkembanganan  pendidikan terutama perkembangan psikologi olahraga dalam pendidikan  jasmani dan olahraga.
2. anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya tidak dapat  dipisahkan karena ketiganya saling mempengaruhi didalam meningkatkan dan  mengembangkan prestasi atlet.
Daftar Pustaka
Bakker, F.C., Whiting, "I.T.A., & Van der Brug. (1990). Sport  psychology, concepts and applications. New York: John Wiley & Sons.
Cratty, B.J. (1973). Psychology in contemporary sport. New York: Prentice Hall, Inc.
Eberspacher, H. (1982). Sportpsychologie, Grundlagen, Methoden, Analysers. Rowohlt: Reinbek.
Harsono. (1988). Coaching dan aspek-aspeh psihologis
dalam coaching. Jakarta: C.V. Tambak Kusuma.
Harsono. (1990). Metode Mengajarkan Keterampilan Olah¬raga. Lokaharya Pendidihan Berpihir, IKIP Ban¬dung. Makalah.
Loehr, J.E. (1986). Mental toughness training for sports., New York: A Plume Book.
McKinney, R. (1988). Archery. Tokyo: Sakamoto Kikaku¬shitsu.
Oxendine, J.B. (1968). Psychology of motor learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Vanek, M. & Cratty, B.J. (1970). Psychology of the supe¬rior athlete. London: The Macmillan Company.
Weinberg, R.S. (1988). The mental advantage. Cham¬paign, Illinois: Leisure Press.
Andersen, M.B. (2000). Doing sport psychology (Edit.). Champain IL.: Human Kinetics.
Bunker, L.K., Rutella, R.J. & Reilly, A.S. (1985)..Sport Psychology. Michigan: McHaughton & Gunn Inc.
Cardinell, C. (1980). Teacher burnout: An analysis. Action inTeacher Educa-tion.2 (4).
Cox, R.H. (1985). Sport Psychology. Iowa: Wm.C. Brown Publ.
Cox, R.H. (1994). Sport Psychology: Concepts and applications. Dubuque, IA: Brown & Benchmark.
Cratty, B.J. (1989). Psychology in Contemporary Sport. NJ: Prentice Hall, Englewood, Cliffs.
Fisher, A.C. (1976). Psychology of Sport. Palo Alto: Mayfield Publ. Co.
Fixx, J.F. (1985). Maximum Sports Performance. New York: Random House.  Freudenberger, H.J. (1974). Staff burnout. Journal of Social Issues. 30  (1). Gould, D. (1988). Sport psychology: Future directions in youth  sport re search. In F.L. Smolt, R.A. Magill, & M.J. Ash (Eds.),  Children in Sport (3" ed.). Champain IL: Human Kinetics.
Goffi, C. (1984). Tournament Tough. London: Ebury Press.
Gunarsa, S.D. (1990). Psikologi Olahraga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.  Gunarsa, S.D., Satiadarma, M.P. & Soekasah, M.H.R. (1996): Psikologi  Olah¬raga: Teori dan Praktik. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, S.D. (2(XX)). "Sumbangan Psikologi bagi Dunia Olahraga", Dalam  Supratiknya, Faturrochman & Haryanto S.: Tantangan Psikologi  Menghadapi Milenluin Baru. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas  Psikologi UGM.
Gunarsa, S.D. (2000). Psikologi Olahraga dan Penerapannya untuk Bulutangkis. Jakarta: UPT. Penerbitan, UNTAR.
Haag, H. (1986). "Comparative sport pedagogy - comparative education: a  basic interrelationship within educational sciences", dalam: Krotee,  M.L. & Jaeger, E.M. (1986). Comparative Physical Education and  Sport. Vol. 3.
Heil, J. (Ed.). (1993). Psychology of Sport Injury. Champain IL: Human Kine-tics.
Hellstedt, J.C. (1987). "Sport psychology at the ski academy. Teaching  mental skills to young athletes", The Sport Psychologist, 1, 56-68.
Kroll, W. & Gunderscheirn, J. (1982). Stress factors in coaching. Coaching Science Update. 47-49.
Kubler-Ross, E. (1969). On Death and Dying. New York: Mcmillan.
Loehr, J.L. (1994). The New Toughness Training for Sports. New York: Penguin Books.
Martens, R. (1987). Coaches Guide to Sport Psychology. Champain IL: Human Kinetics Publ.
Martens, R., Vealy, R.S. & Burton, D. (1990). Competitive Anxiety in Sport. Champain IL: Human Kinetics.
Maslach, C. (1978). The client role in staff burnout. Journal of Social Issues. (34).
Murphy, S.M. (Ed.). (1995). Sport Psychology Interventions. Champain IL: Human Kinetics.
Nideffer, R.M. (1985). Athletes' Guide to Mental Training. Champain IL: Hu-man Kinetics.
Nideffer, R.M. (1992). Psych to Win. Champain IL: Human Kinetics.
Orlick, T. (1986). Psyching for Sport: Mental Training for Athletes. Champain IL: Human Kinetics.
Orlick, T. & Partington, J. (1989). Psych: Inner Views of Winning. Ottawa, Canada: Coaching Association of Canada.
Orlick, T. (1990). In pursuit of excellence. Champain IL: Leisure Press.
Orlick, T., Zitzelberger, L., Li-Wei, Z. & Qi-wei, M. (1992). "The  effect of mental-imagery training on performance enhancement with 7-10   year-old children", The Sport Psychologist, 6,230-241.
Porter, K. & Foster, J. (1986). The Mental Athlete. Dubuque, Iowa: WM C. Brown Publ.
Satiadarma, M.P. (2000). Dasar-dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Schurr, K.T., Ashley, M.A. & Joy, K.L. (1977). "A multivariate  analysis of male athlete characteristics: Sport type and success",  Multivariate Ex-perimental Clinical Research, 3, 54-68.
Singer, R.N. (1984). Sustaining Motivation in Sport. Tallahassee, Florida: Sport Consultants International, Inc.
Singer, R.N. (1986). Peak Performance and More. Ithaca, New York: Mouve-ment Publ. Inc.
Spielberger, C.D. (1966b). Anxiety and Behavior. New York: Academic  Press. Spielberger, C.D. (1972). Anxiety: Current Trends in Theory and  Research. New York: Academic Press.
Straub, W.F. (1980). Art of Athlete Behavior. Ithaca, New York:
Mouvement, Publ. Inc.
Suinn, R. (1990). Psychological Techniques for Individual Performance. New York: Macmillan.
Unestahl, L.E. (1986). Contemporary Sport Psychology. Orebro: Veje Publ. Inc.
Wallace, K. (1971). Dalam: Kanellakos, C. Transcendental meditation ...  what's it all about. Dalam: Fisher, A.C. (1978). Psychology of sport.  Palo Alto: Mayfield Publ. Co.
Warren, W. (1983). Coaching and Motivation Englewood Cliffs:  Prentice-Hall. Weinberg, R.S. & Gould, D. (1995). Foundations of  Sport and Exercise Psycho¬logy. Champain IL: Human Kinetics.
William, J.M. (Ed.). (1998). Applied Sport Psychology: Personal Growth to Peak Performance( ed.). Mountain View, CA: Mayfield.