Saturday, May 28, 2011

manajemen olahraga


                                            Kata pengantar





Puji syukur kehadirat illahi robbi yang senantiasa melimpahkan kepada umatnya rahman dan rahim-Nya sehingga tim penulis dapat menyelesaikan makalah yang  berjudul “peran Strategi organisasi dalam   dan peningkatan  prestasi olahraga”

Dalam kesempatan ini tidak lupa kami tim penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah mendukung menyelesaikan karya ilmia ini:
  1. dosen pengasuh  mata kuliah  manajemen olahraga ,yang diasuh  oleh bapak hendrik
  2. petugas perpustakaan FKIP PGRI yang telah memberikan kemudahan kepada penulis mengumpulkan data
  3. dan yang teakhir  adalah teman-teman kelas 4j yang telah memberikan support

dengan rendah hati ,tim penulis  adanya kendala ,keterbatasan  dan kemampuan  bahwa tim penulis ini jauh dari sempurna ,maka dengan itu tim penulis  mengharap  segala kritik  dan saran yang sipatnya membangun  demi kesempurnaan  krya tulis ini.






                                                                                                                 Palembang mei 29





                                                                                                                          Tim penulis

Thursday, May 26, 2011

manajemen olahraga



                                                                                PEMBAHASAN
A.      Pengertian Psikologi Olahraga
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai yang kompleks. Perilaku manusia ada yang disadari, namun ada pula yang tidak disadari, dan perilaku yang ditampilkan seseorang dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri.
Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai psikologi olahraga. Penerapan psikologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa adanya hambatan dan factor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari psikologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya.
2. Mengapa Psikologi Olahraga Diperlukan dalam Olahraga?
Meningkatnya stres dalam pertandingan dapat menyebabkan atlet bereaksi secara negatif, baik dalam hal fisik maupun psikis, sehingga kemampuan olahraganya menurun. Mereka dapat menjadi tegang. denyut nadi meningkat, berkeringat dingin, cemas akan hasil pertandingannya, dan mereka merasakan sulit berkonsentrasi. Keadaan ini seringkali menyebabkan para atlet tidak dapat menampilkan permainan terbaiknya. Para pelatih pun menaruh minat terhadap bidang psikologi olahraga, khususnya dalam pengendalian stres.
Psikologi olahraga juga diperlukan agar atlet berpikir mengenai. mengapa mereka berolahraga dan apa yang ingin mereka capai? Sekali tujuannya diketahui, latihan-latihan ketrampilan psikologis dapat menolong tercapainya tujuan tersebut.3. Bagaimanakah Psikologi Olahraga Dapat Membantu Atlet Agar Memiliki Mental yang Tangguh?
Mental yang tegar, sama halnya dengan teknik dan fisik, akan didapat melalui latihan yang terencana, teratur, dan sistematis. Dalam membina aspek psikis atau mental atlet, pertama-tama perlu disadari bahwa setiap atlet harus dipandang secara individual, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Untuk membantu mengenal profil setiap atlet, dapat dilakukan pemeriksaan psikologis, yang biasa dikenal dengan “psikotes”, dengan bantuan psikometri.
Profil psikologis atlet biasanya berupa gambaran kepnbadian secara umum, potensi intelektual. dan fungsi daya pikimya yang dihubungkan dengan olahraga. Profil atlet pada umumnya tidak berubah banyak dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, orang sering beranggapan bahwa calon atlet berbakat dapat ditelusun semata-mata dari profil psikologisnya. Anggapan semacam ini keliru, karena gambaran psikologis seseorang tidak menjamin keberhasilan atau kegagalannya dalam prestasi olahraga, karena banyak sekali faktor lain yang mempengaruhinya. Beberapa aspek psikologis dapat diperbaiki melalui latihan ketrampilan psikologis (diuraikan kemudian) yang terencana dan sistematis, yang pelaksanaannya sangat tergantung dari komitmen si atlet terhadap program tersebut.
B. Aspek-aspek Psikologis yang berperan dalam OlahragaPengaruh faktor psikologis pada atlet akan terlihat dengan jelas pada saat atlet tersebut bertanding. Berikut ini akan diuraikan beberapa masalah psikologis yang paling sering timbul di kalangan olahraga, khususnya dalam kaitannya dengan pertandingan dan masa latihan.
1. Berpikir Positif
Berpikir positif dimaksudkan sebagai cara berpikir yang mengarahkan sesuatu ke arah positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi terlebih-lebih bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berpikir positif, maka akan berpengaruh sangat baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi, dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Berpikir positif merupakan modal utama untuk dapat memiliki ketrampilan psikologis atau mental yang tangguh.
Pikiran positif akan diikuti dengan tindakan dan perkataan positif pula, karena pikiran akan menuntun tindakan. Sebagai contoh, jika dalam bermain bulutangkis terlintas pikiran negatif seperti, “takut salah, takut out, takut bola pukulannya tanggung” dan sebagainya, maka kemungkinan terjadi akan lebih besar. Karena itu cobalah dan biasakan untuk selalu berpikir positif, hindari yang negatif. Demikian juga dalam memberikan instruksi kepada atlet. Daripada mengatakan: “Kamu ini susah sekali sih diajarnya…, salah terus…! Awas, jangan berhenti sebelum bisa!”, lebih baik mengatakannya dengan cara yang positif walaupun maksudnya sama: “Ayo, coba lagi pelan-pelan, kamu pasti bisa melakukannya. Perhatikan, tangannya, begini… langkahnya, ke sini… kena bolanya, di sini… ayo dicoba”.
Sebagai pelatih, tunjukkan Anda percaya bahwa atlet Anda memiliki peluang untuk dapat berprestasi baik. Cemooh, celaan, dan kritik yang pedas yang tidak pada tempatnya, justru akan membuat atlet bereaksi negatif dan berakibat akan menurunkan motivasi yang diikuti dengan penurunan prestasi.
2. Penetapan Sasaran
Penetapan sasaran (goal setting) merupakan dasar dan latihan mental. Pelatih perlu membantu setiap atletnya untuk menetapkan sasaran, baik sasaran dalam latihan maupun dalam pertandingan. Sasaran tersebut mulai dan sasaran jangka panjang, menengah, sampai sasaran jangka pendek yang lebih spesifik.
Untuk menetapkan sasaran, ada tiga syarat yang perlu diingat agar sasaran itu bermanfaat, yaitu:
a. Sasaran harus menantang.
Sasaran yang ditentukan harus sedemikan rupa, sehingga atlet merasa tertantang untuk dapat mencapai sasaran tersebut.
b. Sasaran harus dapat dicapai.
Buatlah sasaran itu cukup tinggi, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Atlet harus merasa bahwa sasaran yang ditetapkan itu dapat tercapai jika ia berusaha keras. Jika sasaran terlalu tinggi, sehingga atlet merasa mustahil dapat mencapainya, maka motivasi berlatihnya akan menurun. Demikian pula, jika sasaran tersebut terlalu mudah untuk dapat dicapai, maka atlet merasa tidak perlu berlatih keras karena ia akan dapat mencapai sasaran tersebut.
c. Sasaran harus meningkat.
Mulai dari sasaran yang relatif rendah, kemudian buatlah sasaran tersebut makin lama makin tinggi, semakin sulit tercapainya jika atlet tidak berlatih keras. Dalam setiap latihanpun biasakanlah selalu ada sasaran yang harus dicapai. Dan target yang bersifat umum, lalu uraikan lagi secara lebih spesifik. Dan target untuk suatu kompetisi jangka panjang, uraikan menjadi target atau sasaran jangka pendek, sampai target untuk setiap latihan. Sasaran yang ditetapkan tersebut, hendaknya juga ditetapkan kapan harus tercapainya, dan bagaimana pula cara mengukumya atau apa ukurannya secara objektif. Sedapat mungkin, buatkan grafik pencapaian sasaran tersebut agar terlihat jelas arah dan peningkatannya.
3. Motivasi
Motivasi dapat dilihat sebagai suatu proses dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu sebagai usaha dalam mencapai tujuan tertentu. Motivasi yang kuat menunjukkan bahwa dalam diri orang tersebut tertanam dorongan kuat untuk dapat melakukan sesuatu.
Ditinjau dari fungsi diri seseorang, motivasi dapat dibedakan antara motivasi yang berasal dan luar (ekstrinsik) dan motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri (intrinsik). Dengan pendekatan psikologis diharapkan atlet dalam setiap penampilannya dapat memperlihatkan motivasi yang kuat untuk bermain sebaik-baiknya, sehingga dapat memenangkan pertandingan.
Motivasi yang baik tidak mendasarkan dorongannya pada faktor ekstrinsik seperti hadiah atau penghargaan dalam bentuk materi. Akan tetapi motivasi yang baik, kuat, dan lebih lama menetap adalah faktor intrinsik yang mendasarkan pada keinginan pribadi yang lebih mengutamakan prestasi untuk mencapai kepuasan diri daripada hal-hal yang material.
Untuk mengembangkan motivasi intrinsik ini, peran pelatih dan orangtua sangat besar. Pelatih perlu melakukan pendekatan dan menumbuhkan kepercayaan diri pada atlet secara positif. Ajarkan atlet untuk dapat menghargai diri sendiri, oleh karena itu, pelatih harus memperlihatkan bahwa ia menghargai hasil kerja atlet secara konsekuen.
4. Emosi
Faktor-faktor emosi dalam diri atlet menyangkut sikap dan perasaan atlet secara pribadi terhadap diri sendiri, pelatih maupun hal-hal lain di sekelilingnya. Bentuk-bentuk emosi dikenal sebagai perasaan seperti senang, sedih, marah, cemas, takut, dan sebagainya. Bentuk-bentuk emosi tersebut terdapat pada setiap orang. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana kita mengendalikan emosi tersebut agar tidak merugikan diri sendiri.
Pengendalian emosi dalam pertandingan olahraga seringkali menjadi faktor penentu kemenangan. Para pelatih harus mengetahui dengan jelas bagaimana gejolak emosi atlet asuhannya, bukan saja dalam pertandingan tetapi juga dalam latihan dan kehidupan sehari-hari. Pelatih perlu tahu kapan dan hal apa saja yang dapat membuat atletnya marah, senang, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan demikian pelatih perlu juga mencari data-data untuk mengendalikan emosi para atlet asuhannya. yang tentu saja akan berbeda antara atlet yang satu dengan atlet lainnya.
Gejolak emosi dapat mengganggu keseimbangan psikofisiologis seperti gemetar, sakit perut, kejang otot, dan sebagainya. Dengan terganggunya keseimbangan fisiologis maka konsentrasi pun akan terganggu, sehingga atlet tidak dapat tampil maksimal. Seringkali seorang atlet mengalami ketegangan yang memuncak hanya beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Demikian hebatnya ketegangan tersebut sampai ia tidak dapat melakukan awalan dengan baik. Apalagi jika lawannya dapat menekan dan penonton pun tidak berpihak padanya, maka dapat dibayangkan atlet tersebut tidak akan dapat bermain baik. Konsentrasinya akan buyar, strategi yang sudah disiapkan tidak dapat dijalankan, bahkan ia tidak tahu harus berbuat apa.
Disinilah perlunya dipelajari cara-cara mengatasi ketegangan (stress mana- gement). Sebelum pelatih mencoba mengatasi ketegangan atletnya. terlebih dulu harus diketahui sumber-sumber ketegangan tersebut. Untuk mengetahuinya, diperlukan adanya komunikasi yang baik antara pelatih dengan atlet. Berikut ini dijelaskan secara terpisah mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan emosi.
5. Kecemasan dan Ketegangan
Kecemasan biasanya berhubungan dengan perasaan takut akan kehilangan sesuatu, kegagalan, rasa salah, takut mengecewakan orang lain, dan perasaan tidak enak lainnya. Kecemasan-kecemasan tersebut membuat atlet menjadi tegang, sehingga bila ia terjun ke dalam pertandingan maka dapat dipastikan penampilannya tidak akan optimal. Untuk itu, telah banyak diketahui berbagai teknik untuk mengatasi kecemasan dan ketegangan yang penggunaannya tergantung dari macam kecemasannya.
Sebagai usaha untuk dapat mengatasi ketegangan dan kecemasan, khususnya dalam menghadapi pertandingan, lakukanlah beberapa teknik berikut ini :
a. Identifikasikan dan temukan sumber utama dan permasalahan yang menimbulkan kecemasan.
b. Lakukan latihan simulasi, yaitu latihan di bawah kondisi seperti dalam pertandingan sesungguhnya.
c. Usahakan untuk mengingat, memikirkan dan merasakan kembali saat-saat ketika mencapai penampilan paling baik atau paling mengesankan.
d. Lakukan latihan relaksasi progresif, yaitu melakukan peregangan alau pengendoran otot-otot tertentu secara sistematis dalam waktu tertentu.
e. Lakukan latihan otogenik, yaitu bentuk latihan relaksasi yang secara sistematis memikirkan dan merasakan bagian-bagian tubuh sebagai hangat dan berat.
f. Lakukan latihan pernapasan dengan bernapas melalui mulut dan hidung serta secara sadar bernapas dengan menggunakan diafragma.
g. Dengarkan musik (untuk mengalihkan perhatian).
h. Berbincang-bincang, berada dalam situasi sosial (untuk mengalihkan perhatian).
i. Membuat pernyataan-pernyataan positif terhadap diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang diperlukan saat itu.
j. Lain-lain yang dapat mengurangi ketegangan.
6. Kepercayaan Diri
Dalam olahraga, kepercayaan diri sudah pasti menjadi salah satu faktor penentu suksesnya seorang atlet. Masalah kurang atau hilangnya rasa percaya diri terhadap kemampuan diri sendiri akan mengakibatkan atlet tampil di bawah kemampuannya. Karena itu sesungguhnya atlet tidak perlu merasa ragu akan kemampuannya, sepanjang ia telah berlatih secara sungguh-sungguh dan memiliki pengalaman bertanding yang memadai.
Peran pelatih dalam menumbuhkan rasa percaya diri atletnya sangat besar. Syarat untuk untuk membangun kepercayaan diri adalah sikap positif. Beritahu pemain di mana letak kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Buatkan program latihan untuk setiap atlet dan bantu mereka untuk memasang target sesuai dengan kemampuannya agar target dapat tercapai jika latihan dilakukan dengan usaha keras. Berikan kritik membangun dalam melakukan penilaian terhadap atlet. Ingat, kritik negatif bahkan akan mengurangi rasa percaya diri.
Jika pemain telah bekerja keras dan bermain bagus (walaupun kalah), tunjukkan penghargaan Anda sebagai pelatih. Jika pemain mengalami kekalahan (apalagi tidak dengan bermain baik), hadapkan ia pada kenyataan objektif. Artinya, beritahukan mana yang telah dilakukannya secara benar dan mana yang salah, serta tunjukkan bagaimana seharusnya. Menemui pemain yang baru saja mengalami kekalahan harus dilakukan sesegera mungkin dibandingkan dengan menemui pemain yang baru saja mencetak kemenangan.
7. Komunikasi
Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi dua arah, khususnya antara atlet dengan pelatih. Masalah yang sering timbul dalam hal kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara pelatih dengan atletnya adalah timbulnya salah pengertian yang menyebabkan atlet merasa diperlakukan tidak adil, sehingga tidak mau bersikap terbuka terhadap pelatih. Akibat lebih jauh adalah berkurangnya kepercayaan atlet terhadap pelatih.
Untuk menghindari terjadinya hambatan komunikasi, pelatih perlu menyesuaikan teknik-teknik komunikasi dengan para atlet seraya memperhatikan asas individual. Keterbukaan pelatih dalam hal pogram latihan akan membantu terjalinnya komunikasi yang baik, asalkan dilakukan secara objektif dan konsekuen. Atlet perlu diberi pengertian tentang tujuan program latihan dan fungsinya bagi tiap-tiap individu.
Sebelum program latihan dijalankan, perlu dijelaskan dan dibuat peraturan mengenai tata tertib latihan dan aturan main lainnya termasuk sanksi yang clikenakan jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang telah dibuat tersebut. Jadi, hindarilah untuk memberlakukan suatu sanksi yang belum pernah diberitahukan sebelumnya. Misalnya, seorang atlet minum Coca Cola dalam latihan, lalu dihukum oleh pelatih. Atlet tersebut bingung dan bertanya-tanya mengapa ia dihukum karena ia tidak pernah dijelaskan sebelumnya oleh pelatih bahwa dalam latihan dilarang minum minuman bersoda.
Demikian pula dalam hal pelaksanaanya. Peraturan yang sudah dibuat, haruslah dijalankan secara konsekuen. Artinya, jika seorang atlet dihukum karena melanggar peraturan tertentu, maka jika ada atlet lain yang melanggar peraturan yang sama ia pun harus mendapat hukuman yang sama. Demikian pula jika atlet yang sama melakukannya lagi di kemudian hari.
Pelatih pun perlu bersikap objektif dan berpikir positif. Bersikap objektif maksudnya adalah bersikap sesuai dengan kenyataan atau fakta apa adanya tanpa menyangkutpautkan dengan hal lain. Jika pelatih marah terhadap atlet karena misalnya si atlet datang terlambat dalam latihan, maka hukumlah atlet itu hanya atas keterlambatannya, jangan dihubungkan dengan hal-hal lain (ingat, hukuman tersebut harus sudah tertera dalam tata tertib latihan).
8. Konsentrasi
Konsentrasi merupakan suatu keadaan di mana kesadaran seseorang tertuju kepada suatu obyek tententu dalam waktu tertentu. Makin baik konsentrasi seseorang, maka makin lama ia dapat melakukan konsentrasi. Dalam olahraga, konsentrasi sangat penting peranannya. Dengan berkurangnya atau terganggunya konsentrasi atlet pada saat latihan, apalagi pertandingan, maka akan timbul berbagai masalah.
Dalam olahraga, masalah yang paling sering timbul akibat terganggunya konsentrasi adalah berkurangnya akurasi lemparan, pukulan, tendangan & tembakan sehingga tidak mengenai sasaran. Akibat lebih lanjut jika akurasi berkurang adalah strategi yang sudah dipersiapkan menjadi tidak jalan, sehingga atlet akhimya kebingungan, tidak tahu harus bermain bagaimana dan pasti kepercayan dirinya pun akan berkurang. Untuk menghindari keadaan tersebut, perlu dilakukan latihan berkonsentrasi.
9. Evaluasi Diri
Evaluasi diri dimaksudkan sebagai usaha atlet untuk mengenali keadaan yang terjadi pada dirinya sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar atlet dapat mengetahui kelemahan dan kelebihan dirinya pada saat yang lalu maupun saat ini. Dengan bekal pengetahuan akan keadaan dirinya ini maka pemain dapat memasang target latihan maupun target pertandingan dan cara mengukurnya. Kegunaan lainnya adalah untuk mengevaluasi hal-hal yang telah dilakukannya, sehingga memungkinkan untuk mengulangi penampilan terbaik dan mencegah terulangnya penampilan buruk.
Oleh karena itu, pelatih perlu menginstruksikan atletnya untuk memiliki buku catatan harian mengenai latihan dan pertandingan. Minta pemain untuk menuliskan kelemahan dan kelebihan diri sendiri, baik dalam segi fisik, teknik, maupun mental. Kemudian koreksilah jika menurut Anda sebagai pelatih ada hal-hal yang tidak sesuai atau ada yang kurang.
Biasakan agar atlet mengisi buku tersebut secara teratur. Ajak atlet untuk menuliskan di dalam bukunya hal-hal yang intinya sebagai berikut:
- Target jangka panjang, menengah, dan jangka pendek dalam latihan dan pertandingan.
- Sesuatu yang dilakukan dan dipikirkan sebelum latihan atau pertandingan.
- Suatu gerakan atau penampilan mengesankan.
- Catatan mengenai kelemahan dan kelebihan lawan yang akan dihadapi dan strategi menghadapinya.
- Hasil dan jalannya pertandingan.
- Hal yang mengganggu emosi atau membuat penampilan jadi buruk.
- Penghargaan yang didapat atas suatu keberhasilan.
Pastikan bahwa buku tersebut diisi secara teratur oleh setiap atlet. Namun perlu diingat bahwa pelatih jangan terlalu memaksa untuk membaca buku harian atlet. Biarkan itu menjadi bagian dan rahasia pribadi mereka. Yang perlu dipantau oleh pelatih adalah bahwa atlet mempunyai bahan bagi dirinya sendiri untuk melakukan evaluasi.
C. Persiapan PertandinganSetelah atlet dilatih baik fisik, teknik, strategi, maupun mentalnya dengan program latihan yang tepat, maka untuk menguji hasil latihannya adalah dengan lterjun ke dalam pertandingan. Tentunya diharapkan bahwa setiap pemain akan dapat menampilkan seluruh kemampuannya yang didapat dan latihan. Namun acapkali pemain tampil di bawah form, artinya ia tidak dapat menampilkan seluruh kemampuan yang dimilikinya pada saat pertandingan.
Untuk mengatasi hal seperti di atas, perlu diciptakan situasi yang mendukung yang tercapainya prestasi optimal dan dilakukan perwapan mental untuk menghadapi suatu pertandingan agar si atlet dapat menampilkan seluruh kemampuannya, sehingga tercapailah prestasi puncak.
Ada empat tahap penting dalam persiapan menuju pertandingan, yaitu
(1). Sebelum hari pertandingan
(2). Pada hari pertandingan
(3). Saat pertandingan
(4). Setelah hari pertandingan.
Berikut uraiannya dalam contoh persiapan pertandingan bulutangkis:
1. Sebelum Hari Pertandingan
a. Kumpulkan data mengenai kekuatan dan kelemahan lawan. Jika memungkin- kan, putarlah rekaman pertandingannya. Kemudian susunlah strategi untuk menghadapinya. Untuk pemain ganda, diskusikan strategi tersebut dengan pasangannya.
b. Pantau kemajuan atlet, baik fisik maupun mentalnya dengan memperhatikan bagaimana tingkat konsentrasinya, bagaimana irama, timing, power, dan kelancaran menjalankan ketrampilannya serta sikapnya terhadap latihan secara umum.
c. Pantau tingkat kecemasan atlet dengan melihat ekspresi wajahnya apakah cerah atau murung: apakah sinar matanya letih atau segar dan awas. Juga perhatikan suasana hatinya, bagaimana kualitas tidur dan makannya, apakah ia mengalami faktor-faktor psikosomatis seperti sakit perut, nyeri otot, sesak nafas, demam, batuk, keringat dingin, dan sebagainya.
d. Pada saat tidak latihan, pastikan bahwa atlet tidak “hidup dan berpikir” mengenai pertandingannya 24 jam sehan. Berikan aktivitas yang menyenangkan bagi dirinya yang dapat memberikan suasana gembira, sehingga ia bisa mengalihkan pikirannya sejenak dari pertandingan.
e. Satu hari menjelang pertandingan, biasanya cukup latihan ringan saja dan tidak perlu berada di lapangan terlalu lama. Pada malam hari sebelum bertanding, tidurlah pada saat yang tepat, tidak perlu tidur terlalu cepat. Sebelum tidur, lakukan latihan relaksasi dan visualisasi. Jika pertandingan besok dilakukan pagi atau siang hari, siapkan alat-alat perperlengkapan pertandingan, termasuk baju ganti dan perlengkapan cadangan malam ini juga agar esok tidak terburu-buru. Pastikan semua dalam keadaan baik.
2. Pada Hari Pertandingan
a. Bangun tidur pada saat yang tepat, malamnya harus tidur cukup dan tidak berlebihan. Kemudian lakukan aktivitas rutin kebiasaan sehari-hari, seperti sembahyang, berdoa, stretching, sarapan (perhatikan kapan harus makan dan apa yang harus dimakan), latihan relaksasi dan visualisasi, memeriksa kembali perlengkapan pertandingan termasuk cadangannya. Mulailah hari ini dengan gembira, optimis, dan berpikir positif.
b. Berangkatlah ke tempat pertandingan pada saat yang tepat. Perhitungkan jarak ke tempat pertandingan, bagaimana mencapainya, kemacetannya dan sebagainya. Tidak perlu berangkat terlalu cepat, namun jangan sampai terlambat, sehingga tidak ada waktu untuk istirahat, penyesuaian dan pemanasan.
c. Di tempat pertandingan pelatih perlu mengenali atlet mana yang berada didekat teman-temannya dan mana yang lebih suka menyendiri. Pastikan di lapangan mana atlet yang akan bertanding, jangan lupa melapor panitia. Untuk pertandingan pertama, pastikan atlet sudah hapal dimana letak ruang ganti, WC, ruang kesehatan, tes doping, tempat ganti senar, dan sebagainya.
d. Sambil melakukan pemanasan, atlet hendaknya meningkatkan level `semangat’ dlan tetap berpikir positif. Pelatih dapat mengingatkan strategi yang akan diterapkan secara sekilas. Lakukan stroke dengan penuh konsentrasi yang kemudian dapat dilanjutkan dengan’visualisasi clan relaksasi.
3. Saat Bertanding
Saat bertanding tiba, bukan waktunya lagi untuk memikirkan teknik memukul atau bagaimana harus melangkah. Itu semua sudah dilatih dalam latihan dan sudah dihayati dalam visualisasi. Sekarang saatnya tinggal mengulang-ulang kejadian yang sudah divisualisasikan dan melakukannya sesuai dengan situasi saat ini. Sekarang adalah saatnya melakukan konsentrasi penuh hanya pada bola dan jalannya pertandingan.
Anjurkan atlet untuk:
a. Memantau clan menyesuaikan tingkat kecemasan, lakukan relaksasi.
b. Pusatkan perhatian semata-mata hanya terhadap permainan yang sedang dijalani. Kesalahan yang baru atau pernah terjadi, clan yang mungkin terjadi jangan dihiraukan.
c. Berpikir positif dan optimis, jangan biarkan pikiran-pikiran negatif.
d. Jangan terlalu banyak menganalisa.
e. Bermainlah dengan irama sendiri, jangan terbawa irama lawan.
f. Menjalankan strategi yang telah disiapkan. Jangan diubah jika strategi itu berjalan. Lakukan evaluasi singkat, jika strategi tidak jalan, lakukan penyesuaian dengan alternatif strategi yang sudah dipersiapkan.
g. Hindari hal-hal negatif seperti, menyalahkan diri sendiri secara berlebihan, berbicara terhadap diri sendiri berlebihan, berpikir negatif, meragukan kemampuan clan menyerah sebelum pertandingan selesai.
h. Jika bermain bagus, jangan bertanya mengapa clan mengganti apapun; biarkan berjalan demikian. Jangan mengendor jika sedang leading (memimpin pertandingan), clan tidak perlu kasihan jika lawan mendapat angka nol.
4. Setelah Hari Pertandingan
a. Mintalah atlet mencatat hal-hal posisitf maupun negatif yang dirasa berpengaruh terhadap penampilannya dalam pertandingan tadi. Bukan hanya yang bersifat teknik, taktik, clan strategi, tetapi juga yang bersifat mental, bahkan hal-hal kecil lainnya. Catat hasil tersebut dalam buku evaluasi si atlet.
b. Evaluasi penampilan dalam pertandingan tadi. Apakah mencapai sasaran?
c. Putuskan apakah perlu diadakan penyesuaian terhadap program latihan.
d. Pusatkan perhatian terhadap aspek-aspek positif dari penampilan dalam pertandingan.
D. Pelatih Sebagai Pembina Mental AtlitPelatih dalam olahraga dapat mempunyai fungsi sebagai pembuat atau pelaksana program latihan, sebagai motivator, konselor, evaluator dan yang bertanggung jawab terhadap segala hal yang berhubungan dengan kepelatihan tersebut. Sebagai manusia biasa, pelatih sama halnya dengan atlet, mempunyai kepribadian yang unik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap pelatih memiliki kelebihan dan kekurangan, karena itu tidak ada pelatih yang murni ideal atau sempura.
Dalam mengisi peran sebagai pelatih, seseorang harus melibatkan diri secara total dengan atlet asuhannya. Artinya, seorang pelatih bukan hanya melulu mengurusi masalah atau hal-hal yang berhubungan dengan olahraganya saja, tetapi pelatih juga harus dapat berperan sebagai teman, guru. orangtua, konselor, bahkan psikolog bagi atlet asuhannya. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa atlet sebagai seorang yang ingin mengembangkan prestasi, akan mempunyai kepercayaan penuh terhadap pelatihnya.
Keterlibatan yang mendalam antara pelatih dengan atlet asuhannya harus dilandasi oleh adanya empati dan pelatih terhadap atletnya tersebut.Empati ini merupakan kemampuan pelatih untuk dapat menghayati perasaan atau keadaan atletnya, yang berarti pelatih dapat mengerti atletnya secara total tanpa ia sendiri kehilangan identitas pnbadinya. Untuk mengerti keadaan atlet dapat diperoleh dengan mengetahui atau mengenal hal-hal penting yang ada pada atlet yang bersangkutan. Pengetahuan sekadarnya saia tidak cukup bagi pelatih untuk mengetahui keadaan psikologi atletnya. Dasar dan sikap mau memahami keadaan psikologi atletnya adalah pengertian pelatih bahwa setiap orang memiliki sifat-sifat khusus yang memerlukan penanganan khusus pula dalam hubungan dengan pengembangan potensinya.
Kepribadian seorang pelatih dapat pula membentuk kepribadian atlet yang menjadi asuhannya. Hal terpenting yang harus ditanamkan pelatih kepada atletnya adalah bahwa atlet percaya pada pelatih bahwa apa yang diprogramkan dan dilakukan oleh pelatih adalah untuk kebaikan dan kemajuan si atlet itu sendiri. Untuk bisa mendapatkan kepercayaan tersebut dari atlet, pelatih tidak cukup hanya memintanya, tetapi harus membuktikannya melalui ucapan, perbuatan, dan ketulusan hati. Sekali atlet mempercayai pelatih maka seberat apapun program yang dibuat pelatih akan dijalankan oleh si atlet dengan sungguh-sungguh.








BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Anak adalah titipan tuhan yang harus kita jaga dan kita didik agar ia menjadi manusia yang berguna dan tidak menyusahkan siapa saja. Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan. Namun seringkali kita melihat perkembangan prestasi anak yang ternyata tergolong memiliki bakat istimewa.
Setiap individu hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan, kecerdasan, bakat, minatnya, latar belakang dan lingkungan fisik serta sosial masing-masing siswa maka kemajuan belajar siswa yang setingkat (sekelas) mungkin tidak sama.
Setiap anak dipercaya memiliki bakat sendiri-sendiri. Namun bakat anak ini tidak bisa langsung terlihat begitu saja. Karenanya orang tua harus mengenali dan memahami bakat yang dimiliki anaknya. Dengan memahami bakat anak, akan lebih mudah dan terarah dalam mengembangkannya.

Friday, May 20, 2011

penyimpangan dan kekerasan dalam olahraga


                                                               NAMA:
                                                                                          NIM    :   2009151
                                                                                           KELAS:4J
                                            BAB III
PENYIMPANGAN DAN KEKERASAN DALAM OLAHRAGA

A.DIMENSI SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBINAAN OLAHRAGA
Perilaku pembinaan olahraga dipengaruhi oleh system kepercayaan dan nilai panutan
a) interaksi  nilai budaya  dan olahraga
 kajian sosiologis :perkembangan olahraga (nasional),kemajuan atau kemundurannya                                                                               berpangkal dari kegiatan yang berlangsung dalam kontek social budaya,perubahan sosial ,namun juga tidak terlepas dari perubahan cara historis
b) perubahan orientasi
trend baru adalah melahirkan kelas –kelas social dari performance melahirkan cita rasa aestetika atau symbol eksklusif atau keperkasaan
Ada pun faktor sosial yang membentuk struktur dasar dari dunia kaum muda dalam  olahraga
1.konflik pendidikan jasmani antara konsef dan konteks
2. organisasi induk olahraga mengalami kelemahan kapabilitas manajemen
3. kelangkaan sumberdaya
c) strategi pembinaan
Proses pembinaan olahraga pada hakikatnya berlansung dalam lingkungan social,beserta  nilai –nilai yang tumbuh dan bekembang didalamnya
d) proses sosialisasi
1.agen sosial
a) proses untuk memperlakukan anak pria  dan wanita dalam cara yang berbeda
b) pengaruh langsung dari sikap perlakuaan orang tua termaksuk masyarakat luas
2. situasi social
paktor lain  yang berpengaruh terhadap partisipasi falam olahraga dan keterampilan berolahraga
3. karakterristik personal
Bagaimana persepsi anak tentang kemampuan ya dalam olahraga

B) OLAHRAGA DAN KELOMPOK
organisasi dalam olahraga terdiri dari empat tingkatan
1. tinkatan primer
2. tinkat tehnikel
3. tinkat menejerial
4. tingkat badan hukum

C) INTERAKSI DAN PEMERINTAH,SWASTA DAN MASYARAKAT DALAM PEMBINAAN OLAHRAGA NASIONAL
a) efektivitas pembinaan
b) arah pembangunaan ke olahragaan nasional
c) masalah dan tantangan dalam membinaan
d) peranaan pemerintah swasta dan masyrakat
e) swasta beperan sebagai sponsorship
C) MEDIA DAN KERAKAN OLIMPYADE
a) proses sosialisasi
b) mega trend
c) peranan media dan olahraga


          

             Penyimpangan Dalam Kekerasan Dalam Berolahraga
penyimpangan dan kekerasaan dalam olahraga sangat mempengaruhi kehidupan kita karena kekerasan dalam olahraga dapat mempengaruhi gagasan dan ide kita tenteng ketidak adilan antara kelas ,ras dan etnisitas kerja dan prestasi dalam berolahraga
olahraga sangat berkaitan     dengan hubungan sosial dan  masyarakat
olahraga berkaiytan dengan ruang-ruang kehdupan sosial didalam masyrakat (sepert pendidikan ,politik ,ekonomi,media,dan agama

Monday, May 9, 2011

pisikologi olahraga

A. LATAR BELAKANG
Teori kesatuan psiko-fisik atau teori psiko-fisik totalitas berkembang karena para ahli menyadari bahwa oranq yang keadaan kejiwaannya mengalami gangguan, karena rasa susah, gelisah atau ragu-ragu menghadapi sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi fisiknya. Akibat rasa susah dan gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mempengaruhi tingkahlaku dan penampilan¬nya. Sebaliknya keadaan fisik yang kurang sehat, karena sedang sakit, sesudah mengalami kecelakaan dan cidera, juga dapat mempengaruhi kejiwaan individu yang bersangkutan; kurang dapat memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, kurang dapat berfikir dengan tenang, kurang dapat berfikir dengan cepat, dsb-nya.
Sejak lebih kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal-balik an¬tara jiwa dan raga, atau antara gejala fisik dan psikik, telah menjadi bahan pembahasan para ahli psikologi. Ronge (1951) menyebutkan manusia sebagai suatu organisme, yang mengikuti hukum-hukum biologi, hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dsb. Perasaan atau emosi memegang peranan penting dalam hidup manusia. Semua ge-jala emosional seperti: rasa takut, marah, cemas, stress, penuh harap, rasa senang dsb, dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang. Perasaan atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologik seperti: ketegangan otot, denyut jantung, peredaran darah, pernafasan, berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu.
Sehubungan itu semua maka jelaslah bahwa gejala psikik akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet. Dalam hubungan ini pengaruh gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological stability" atau keseimbangan psikik secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapatan prestasi atlet.


Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu; misalnya untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi penuh meski ada gangguan angin atau suara, dll-nya. untuk, menjadi peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya konsentrasi, kemauan keras, koordinasi.gerak yang baik, dan rasa keindahan; ini semua akan dapat, terganggu apabila atlet yang bersangkutan mengalami gangguan emosional.
Emosi atau perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena emosi atlet di samping mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan kehendak), juga mempengaruhi aspek-aspek fisiologiknya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap peningkatan atau merosotnya prestasi atlet.
Ditinjau dari konsep jiwa dan raga sebagai kesatuan yang bersifat organis, maka gangguan emosional terhadap diri atlet akan berpengaruh terhadap keadaan kejiwaan atlet secara keseluruhan, ketidak-stabilan emosional atau "emotional instability" akan mengakibatkan terjadinya psychological instability", dan akan mempengaruhi peran fungsi-fungsi psikologisnya, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atlet.

B. MASALAH
Dalam permasalahan di atas penulis lebih menekankan beberapa masalah diantaranya :
1. Apakah pengertian dari Anxiety (kecemasan) dalam olahraga?
2. Apakah pengertian dari stres dalam olahraga ?
3. Bagaimana upaya pengendaliannya

C. TUJUAN
Penulis menyusun makalah ini dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kecemasan, stress dan upaya pengendalian seorang atlet dalam mengahadapi masalah seperti dalam olahraga olahraga terhadap prestasi seorang atlet
2. Mengupayakan agar tugas dan peran pokok seorang pelatih untuk membangun percaya diri seorang atlet dengan baik yang pada akhirnya tujuan utama prestasi olahraga bisa tercapai


D. MANFAAT
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar para pelatih, guru dan orang yang bergelut didalamnya melaui pemahaman akan fungsi tugas dan perannya bisa meningkatkan kemampuan mendidik atau mengajar terhadap anak didiknya serta mampu mengembangkan potensi diri peserta didik, mengembangkan kreativitas dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga para Atlet/siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Anxiety (Kecemasan) dalam Olahraga
Kita semua tentu pernah merasa takut atau cemas dalam berbagai situasi. Takut dimarahi, takut tidak lulus, takut tidak puss, takut kalah, dan sebagainya. Demikian pula atlet. Dalam menghadapi pertandingan, wajar saja kalau atlet menjadi tegang, bimbang, takut, cemas, terutama kalau menghadapi lawan yang lebih kuat atau seimbang, dan kalau situasinya mencekam. Ketakutan pada atlet pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori (Cratty, 1973):
a. Takut gagal dalam pertandingan
b. Takut akan akibat sosial atas mutu prestasi mereka
c. Takut kalau cedera atau mencederai lawan
d. Takut fisiknya tidak akan mampu menyelesaikan tugasnya atau pertandingan dengan baik
e. (Dan percaya atau tidak), ada pula atlet yang takut menang.
Hasil-hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, takut dice¬mooh, dikritik, dikecam masyarakat.

1. Kecemasan dan Motif Berprestasi
Suasana stress wring sekali membuat seseorang hidup penuh gairah, karena dapat mengatasi suasana penuh stress dapat menimbulkan kepuasan dan kebang¬gaan pada diri seseorang. Yang lebih penting dalam pembinaan atlet, yaitu me¬ningkatkan kemampuan mengatasi stress juga akan menjauhkan kemungkinan atlet mengalami kecerr.asan.
Stress yang berlangsung terus-menerus dapat menimbuikan kecemasan, karena itu tingkat ketegangan yang dapat menimbulkan stress harus selalu dimonitor terus-menerus, disesuaikan dengan kemampuan atlet menghadapi suasana stress. Di cam¬ping itu tingkat berat-rinqannya.4Qtegangan yang dapat ditanagung oleh atlet, khususnya atlet yunior, juga harus selalu diperhatikan karena stress atau ketegangan psikis yang terlalu besar, yang tidak tertahankan oleh atlet, juga dapat menimbulkan kecemasan.
Crafty (1973) membedakan kemungkinan timbulnya kecemasan karena takut cidera atau "harm anxiety" atau kecemasan karena takut gagal atau "failure anxie¬ty". Dalam hubungan ini Crotty mengemukakan sebagai berikut:
"Thus, failure anxiety is related to .the individual's perception of the social consequences of his relative success or failure in a situation: This type of fear was more important to most of the individuals polled than was harm anxiety, or the fear of being physically incapacitated.
Penelitian lebih lanjut mengenai kecemasan karena takut cidera dan kecemasan karena takut gagal, diakui oleh Crotty belum dikembangkan lebih lanjut. Mengenai kecemasan karena takut gagal di satu pihak dan harapan untuk sukses di lain pihak merupakan hal yang cukup menank untuk dijadikan bahan studi. Sehubungan ini Crotty mengemukakan sebagai berikut~
"The degree to which anxiety levels in an individual interfere with performance, therefore, is probably related to the individual's feelings about success vs. failure and his overall need for achievement."
Selama berlangsungnya Olympic Games 1968 oleh para ahli psikologi olahraga telah diadakan penelitian mengenai hubungan antara kecemasan, motif berprestasi, dengan penampilan para atlet. Atlet-atlet sebagai subyek penelitian dibagi dalam empat kelompok, yaitu yang memiliki kecemasan tinggi atau "high anxiety" dan yang memiliki kecemasan rendah atau "low anxiety"; kemudian tiap kelompok tersebut dibagi lagi atas dasar (kriteria) mereka yang memiliki motif berprestasi tinggi atau "high needs for achievem dan yang memiliki motif berprestasi rendah atau "low needs for achievement
2. Kecemasan dan Prustasi

Antara stress, "arousal", dan kecemasan atau "anxiety", menurut Richard H. Cox ada keterkaitannya. Kecemasan dapat didifinisikan sebagai perasaan subyektif g berdasarkan ketakutan dan meningkatnya "physiological arousal" (Levitt, 1980).
Mengenai hubungan stress dengan kecemasan, Soparinch dan Sumorno ,kum (1982) mengemukakan sebagai berikut:
"Bila stress yang dialami seseorang terlalu besar baginya, hingga tidak dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi; atau bila stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus-menerus, maka akan timbul kecemasan. Kecemasan adalah suatu perasaan tak berdaya, perasaan tak aman, tanpa sebab yang jelas. Perasaan cemas atau anxiety kalau dilihat dari kata "anxiety" berarti perasaan tercekik".
Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan¬ternyata atlet tersebut mengalami kekalahan terns-mencrus. Rasa cemas yang terjadi pada suatu keadaan tertentu disebut "State Anxiety". Menurut Spielberger (1985) "state anxiety" adalah keadaan emosional yang terjadi mendadak (pada waktu tertentu) yang ditandai dengan kecemasan, takut, dan ketegangan; biasanya diikuti dengan perasaan cemas yang mendalam disertai ketegangan dan "physiological arousal".
Di samping "state anxiety" juga dikenal "trait anxiety", yaitu rasa cemas yang merupakan sifat-sifat pribadi individu. Trait anxiety merupakan sifat pribadi yang lebih menetap (seperti sifat pembawaan). Atlet yang memil.ikj "trait anxiety" biasanya menun-jukkan sifat mudah cemas menghadapi berbagai permasalahan, khususnya pemasalahan yang berhubungan dengan keamanan pribadinya atau "emotional securi¬ty"-nya. Perasaan cemas pada dasamya terjadi karena individu khawatir akan terganggu personal security"-nya, oleh karena itu individu yang bersangkutan menunjukkan gejala cemas, yang mengandung rasa takut.
"State anxiety" merupakan gejala khusus bagaimana keadaan individu menghadapi situasi tertentu yang mengganggu "personal security"-nya; "state anxie¬ty" mempunyai rujukan obyektif (objective reference). "Trait anxiety" sebagai sifat pribadi individu lebih bersifat tetap dan akan tampak pada berbagai peristiwa atau situasi di mana individu yang bersangkutan merasa terganggu "personal security"-nya; "trait anxiety" mempunyai rujukan subyektif (subjective reference).
Sehubungan dengan gejala "trait anxiety" tersebut, Silva dan Weinberg (1984) 'mengemukakan adanya gejala "competitive trait anxiety" (CTA) pada sementara atlet. Gejala CTA tersebut pdalah gejaladi mana atlet menunjukkan rasa cemas dan ttakut hanya pada waktu 'akan menghadapi kompetisi saja, dan sesudah selesai kompetisi adet tersebut tidak menunjukkan kecemasan atau menjadi normal kembali Robert J. Sonstroem (1984) dalam tulisan yang berjudul: "An Overview of Anxiety in Sport" yang dihimpun oleh Silva dan Weiberg dalam "Psychological Foundations of Sport", mengemukakan penelitian Davidson dan Schewartz (1976) yang menggunakan postulat (anggapan dasar) bahwa persepsi mengenai kecemasan dapat dibedakan atas komponen kognitif dan somatik. Dengan kuesioner dikembangkan ciri-ciri pengalaman rasa cemas; dan pengelompokan atas dasar ciri-ciri tersebut digunakan untuk menetapkan sistem, perlakuan yang dianjurkan Borkovec (1976) sebagai berikut:
"That is, cognitive anxiety reduction is more compatible with self-instruction and thought-stopping methods, for example, and somatic anxiety reduction is better accomplished with methods such as progresive relaxation, biofeed¬back, and Qxercice."
Temuan Davidson dan Schwartsz tersebut, merupakan temuan yang sangat berguna untuk dapat diterapkan dalam menyusun program pembinaan mental atlet, sehubungan dengan perbedaar.-perbedaan individual atlet yang menunjukkan gejala kecemasan.

3. Frustasi dalam Olahraga
Frustrasi timbal karena individu merasa gagal tidak dapat mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Setiap atlet ingin mendapat kepuasan, ingin terpenuhi kebutuhan¬nya, ingin mencapai harapan untuk menang; dan apabila hal tersebut tidak terwujud, maka dapat menimbulkan frustrasi.
Sebetulnya frustrasi bukan hanya disebabkan karena kegagalan saja, tetapi terutama datang dari dalam diri atlet itu sendiri yang diliputi perasaan gagal. Cukup banyak atict.yang gagal dalam suatu pertandingan atau gagal mencapai prestasi sesuai apa yang diinginkan, tetapi tidak mengalami frustrasi.
Dalam hubungan dengan kemungkinan terjadinya frustrasi ini pelatih harus memasukkan program latihan untuk menyiapkan atlet agar slap menghadapi kemungkinan mengalami kegagalan, disamping mendorong atlet untuk berprestasi setinggi-tingginya. Kesiapan mental untuk menghadapi semua kemungkinan, termasuk juga kemungkinan kalah dalam pertandingan merupakan tugas pelatih untuk menyiapkan seorang calon juara.
Frustrasi dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun atlet yang mempunyai sifat optimis. Pada atlet yang mempunyai sifat pesimis, pada waktu ia menghadapi kenyataan kurang berhasil atau belum berhasil, mungkin atlet tersebut sudah merasa gagal lebih dahulu. Atlet yang memiliki sifat-sifat pribadi pesimis mudah mengalami frustrasi, karena dalam mengalami kegagalan sedikit saja, dianggapnya sebagai kegagalan yang akan dialami seterusnya.
Seorang atlet yang mempunyai sifat optimis adalah baik, karena tanpa memiliki sifat optimis atlet tidak akan maju; Haman tertalu optimis juga kurang menountungkan. Atlet yang terlalu optimis adalah atlet yang mempersepsikan diri memiliki kemam-. puan lebih dari keadaan senyatanya, yaitu lebih dari kemampuan yang dimiliki sebenar nya. Hal semacam ini terjadi pada atlet yang "over-confidence". Atlet yang terlalu optimis, pada waktu mengalami kegagalan, mudah kecewa, kehilangan keseimbangan ernosinya. Sudah barang tentu hal semacam ini kurang menguntungkan, karena tidak stabiInya emosi akan mengganggu stabilitas psikisnya secara keseluruhan; ini berakibat konsentrasinya terganggu, reaksinya berkurang, koordinasi geraknya juga terganggu, dsb-nya.
Pada dasarnya frustrasi lebih mudah terjadi pada atlet yang belum memiliki kematangan emosional, hal ini juga berkaitan dengan sifat-sifat kepribadian atlet yang bersangkutan. Kepercayaan pada diri sendiri merupakan hal yang perlu sekali ditanamkan sejak dini, karena percaya diri merupakan salah satu hal yang memben¬tuk kemampuan menghindarkar, diri dart kemungkinan terjadinya frustrasi. Menum¬buhkan rasa percaya diri merupakan salah satu program latihan mental yang perlu diperhatikan para pelatih.
Tidak sedikit atlet berbakat yang dapat berprestasi tinggi dan dapat menjadi juara, akhirnya gagal dan hilang ditengah perjalanan hidupnya sebagai atlet yang ber¬prestasi, karena merasa gagal dan mengalami frustrasi. Untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya frustasi ,sejak dini secara sistematis atlet perlu dilatih menghadapi tantangan-tantangan untuk diatasi. Keadaan penuh ketegangan atau stress menghadapi tantangan akan dapat menimbulkan proses adaptasi, yaitu penyesuaian diri sehingga akhirnya cukup mampu mengatasi kemungkinan frustrasi.
Seorang.atlet yang cukup mampu untuk.merigatasi kemungkinan mengalami frustrasi, disebut juga atlet yang memiliki "a bight frustration tolerance" (Crotty, 1973). Menurut Saparinah dan Sumarno Markam (1982), atlet-atlet yang bare terjun dalam kompetisi, mempunyai "ambang stress" yang lebih rendah daripada yang sudah lama terjun dalam kompetisi. Karena yang sudah lama terjun dalam kompetisi sudah lebih terlatih dan sudah terbiasa dengan pengalaman yang penuh dengan stress di masa lalu.
Pernyataan Saparinah dan Sumarno Markam tersebut lebih menunjang perlunya pembinaan mental sejak dini; suasana kompetisi yang penuh stress dapat diciptakan sejak dini sehingga dapat meningkatkan kemampuan talon atlet mengatasi stress, dan sekaligus akan menghindarkan kemungkinan mengalami frustrasi.

B. Stres Dalam Olahraga (Gejala emosional)
Seperti halnya otot-otot kita mengalami ketegangan karena melakukan jaan fisik maka kitapun dapat mengalami ketegangan psikik, yang disebut "stress".Menurut Gauron (1984) stress seperti halnya ketegangan otot tidak dapat dielakan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita tidak dapat menghindarkan ketegangan psikik atau stress, beberapa ketegangan diperlukan dan beberapa ketegangan tidak diperlukan dalam penampilan dan melakukan tugas. Menurut Gauron kurangnya ketegangan atau "lack of tension" akan berakibat kita tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik. Untuk dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu dibutuhkan adanya ketegangan otot-otot, dimana ketegangan tersebut sangat diperlukan kemanfaatannya.
Setiap atlet yang bertanding dalam suatu per-isdwa olahraga merasakan adanya peningkatan ketegangan emosional untuk mengap.tisipasi situasi pertandingan yang dihadapi. Singer (1986) mengemukakan bahwa aktivitas penuh ketegangan tidak selalu jelek bagi seorang atlet. Ditinjau dari macam reaksi mental dan emosional, Singer menunjukkan dues gejala yang berhubungan dengan emosi, yaitu: tidak adanya kesiapan dan penuh kesiapan. Tidak adanya kesiapan atau "under readiness" ada hubungan dengan kurangnya motivasi, sedangkan "over readiness" atau penuh kesiapan berhubungan dengan kesiapan untuk menang atau penampilan buruk, ketakutan akan kalah, dsb-nya.
Stress atau ketegangan psikik bentulmya dapat beraneka macam. Menurut Gauron (1984) stress menunjukkan gejala tidak sama terhadap tantangan-tantangan Yang dihadapi, untuk dapat melakukan adaptasi. Menghadapi stress, badan manusia Mengadakan reaksi dengan cara-cara atau bentuk yang konsisten, ada pengerahan atau"arousal"system syarat otonom"tertentu.Jadi gejala stress menurut Gauron tersebut dapat lebih bervariasi dibanding "tension" atau ketegangan fisik yang dialami seseorang.

1) Stress dan Pertandingan
Menurut Scanlan (1984) dalam tulisannya yang berjudul: "Competitive Stress and the Child Athlete" yang dimuat dalam buku "Psychological Foundations of Sport" mengemukakan bahwa "competitive stress" atau stress yang timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emosional yang negatif pada anak apabila rasa harga-dirinya merasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari kekalahannya.
Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan, sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan emosional, yang akhir¬nya berpengaruh terhadap proses-proses psikologik maupun proses fisiologik.
Spielberger (1986) ja am tulisannya mengenai "Stress and Anxiety in Sports" dalam kumpulan karya ilmiah yang dihimpun oleh Morgan berjudul "Sport Psychology" (1986) menegaskan bahwa stress menunjukkan "psychobiological process" yang kornpieks, can proses ini pacia ainuinnyd Llefjdoil caidm situasi yang mengandung nai yang dapat merugikan-, berbahaya, atau dapat menimbulkan frustrasi (stressor).
"Stressor" menurut Spielberger (1986) menunjukkan situasi-situasi atau stimuli yang secara obyektif ditanJai dengan adanya tekanan fisik ataupun psikologik atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. situasi penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia.
Reaksi yang berbeda-beda akan muncul dalam menghadapi "stressor", tergan¬tung pada situasi tertentu yang diperkirakan mengandung ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian individu terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung bahaya. Dalam hubungannya dengan aktivitas olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya stress menghadapi pertandingan, maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada din atlet yang bersangkutan.
Mengenai timt)ulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan:
1. "Because stress is an inevitable part of life, it cannot be avoided.
2. Since stress is inevitable, individuals must reduce its effects and cope through a personal stress management program.
3. Chronic stress may have adverse effects upon the body particularly if it is not taught to relax".
Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi seorang atlet, tetapi hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai an¬caman, ada hubungannya dengan keadaan mental atlet yang bersangkutan.
Mengenai ancaman dalowikaitannya dengan keadaan mental atlet, Spielberger (1986) mengemukakan'adanya dua karakteristik pokok, yang disimpulkannya sebagai berikut:
'Thus, the experience of threat is, essentially, a state of mind which has two mein characteristics:
1) It is future-oriented, generally involving the anticipation of a potentially harmful event that has not yet happened; and
2) It is mediated by mental activities-peerception, thought, memory, and judg¬ment which are involved in the appraisal process".
Penilaian adanya ancaman yang dihadapi clan adanya penilaian bahaya yanq dihadapi (masa depan) memberi andil penting terhadap timbulnya reaksi emosional serta tindakan yang akan diambil individu menghindari ancaman atau bahaya dihadapinya.

2. Arousal" dan "Inverted U"
Arousal" adalah hal yang tidak dapat dielakkan seperti timbulnya ketegangan fisik atau "tension" dan stress. Yang dimaksudkan dengan "arousal" adalah gejala yang menunjukkan adanya pengerahan peningkatan aktifitas psikis. Teriadinya gejala "arousal" biasanya berjalan sejajar dengan terjadinya peningkatan penampilan atlet; dengan kata lain ada korelasi positif antara "arousal" dengan penampilan atlet.
Menurut Cox (1985) "arousal" adalah suatu istilah netral yang menunjukkan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatetis. Ini menunjukkan intensitas peningkatan giologis, dan tidak dapat digunakan untuk menunjukkan keadaan emosional terten¬tu. Misalnya, baik orang dalam keadaan senang maupun dalam keadaan takut, ke duanya dapat menyebabkan "arousal" fisiologis; meskipun rasa takut adalah qeja4, afek yang bersifat negatif, sedangkan senang atau gembira adalah gejala afek yang bersifat positif.
Mengenai hubungan antara "arousal" dan penampilan atlet yang digambarkan sebagai garis lurus (garis linear), seolah-olah ada korelasi positif antara "arousal" dengan peningkatan penampilan secara terus-menerus, mendapat tantangan antara lain dengan munculnya teori "Inverted U" atau teori U terbalik. Menurut teori "Inverted U" baik arousal" tingkat rendah maupun tingkat tinggi tidak akan menghasiikan penampilan yang setinggi-tingginya ("peak performance'). Tingkat "arousal" moderat (sedang) pads umumnya memberi kemungkinan lebih besar untuk pencapaian puncak penampilan atau "peak performance".
Richard H. Cox (1985) mengemukakan adanya dua teori dasar mengenai hubungan "arousal" dan penampilan; yang pertama adalah teori "Inverted U", dan yang ke dua adalah teori drive. Teori "drive" adalah teori multidimensional mengenai l(Rampilan dan proses bellajar, sedangkan teori "Invel–ted U" meliputi berbagai sub- teori yang menjelaskan mengapa saling hubungan antara "arousal" dan penampilan ,ituk kurve persamaan kuadrat. Teori "drive" membentuk gars hubungan linear.
Dewasa ini para ahli cenderung lebih setuju dengan teori "Inverted U" diban ding teori "Drive" yang digambarkan dengan garis linear (seperti pada Gambar 1. Hubungan secara positif yang menunjukkan adanya korelasi positif, yaitu peningkatan "arousal' akan selalu diikuti peningkatan penampilan; sudah dapat dibayangkan bahwa pada suatu waktu tentu ada batasnya di mans garis hubungan korelasi positif akan berhenti.

Gambar 1. Perbedaan teori "Drive" dan "Inverted U"
Sumber : Cox, Richard H. (1985). Sport Psychology Concepts and Application.

Kalau ditelusuri lebih jauh, maka penemu teori "Inverted U" yang merupakan hasil karya klasik adalah Yerkes dan Dodson pada tahun 1908 (Cox, 1985) Yerkes dan Dodson pada waktu itu menemukan saling hubungan antara "arousal" dan kesukaran tugas terhadap, dampaknya pada penampilan.
Untuk menelid "arousal", cukup banyak "electrophysiological indicators" un¬tuk mengetahui gejala "arousal", misalnya: dapat diukur dengan "elec-troencephalograph" (EEG), mengukur denyut jantung dengan "electrocardiograph" (EKG), mengukur ketegangan otot dengan "electromyograph" (EMG), kecepatan per-nafasan, tekanan darah, keringat pada telapak tangan, dsb-nya.
Menurut Joseph B. Oxendine (1980) yang menulis tentang "Emotional Arousal amt Motor Performance" datum kutnpulan karya ilmiah yang himpun Richard N. Suinn "Psychology in Sports", ada hubungan antara kecemasan dengan "emotional arousal". Apabila seseorang berbicara tentang "emotional arousal" maka is akan menghubungkan dengan salah sate atau beberap5 jala negatif seperti: rasa takut, marah, rasa cemas, iri-hati, rasa malu, berki; )emu, dsb-nya. Gejala-gejala yang positif misalnya: gem¬bira, sangat berminat, bahagia, cinta, dsb-nya.
"Arousal" emosional yang negatif dapat mengganggu atau mengacaukan penampilan atlet. Mengenai hal ini juga pernah diteliti oleh pars ahli psikologi olahraga selama berlangsungnya Olympic Game 1968,
C. Upaya Pengendaliannya terhadap kecemasan dan stress dalam olahraga
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety) dan stress dalam olahraga penulis garis bawahi diantaranya: 1. Strategi Relaksasi, 2. Strategi kognitif, 3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan mekanisme pertahanan diri
1. Strategi Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan saat seorang atlet berada dalam kondisi emosi yang tenang, yaitu tidak bergelora atau tegang. Keadaan tidak ber¬gelora tidak berarti merendahnya gairah untuk ben-nain, melainkan dapat diatur atau dikendalikan pada titik atau daerah Z sesuai dengan hipotesis U-terbalik.
Untuk mencapai keadaan tersebut, diperlukan teknik-teknik tertentu melalui berbagai prosedur, baik aktif maupun pasif. prosedur aktif artinya kegiatan dilakukan sendiri secara aktif. Sementara itu, prosedur pasif ber¬arti seseorang dapat mengendalikan munculnya emosi yang bergelora, atau dikenal sebagai latihan autogenik.
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan sepenul-inya relaks tidak akan memperli¬hatkan respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada ta¬hun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relak¬sasi progresif (Progressive Relaxation Training).
Dengan latihan relaksasi, Jacobsen percaya bahwa seseorang dapat diubah menjadi relaks pada otot-ototnya. Sekaligus juga, latihan ini me¬ngurangi reaksi emosi yang bergelora, baik pada sistem saraf pusat mau¬pun pada sistem saraf otonom. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat.
Kira-kira pada waktu yang bersamaan, seorang dokter di Jerman bernama Johannes Schultz, memperkenalkan suatu teknik pasif agar se¬seorang mampu menguasai munculnya emosi yang bergelora. Schultz menyebut latihan tersebut sebagai Latihan Autogenik (Autogenic Training). Teknik ini dapat melatih seseorang untuk melakukan sugesti diri, agar is dapat mengubah sendiri kondisi kefaalan pada tubuhnya untuk mengen¬dalikan munculnya emosi yang terlalu bergelora. Setelah diajarkan cara¬cara untuk melaksanakannya, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti diri (auto-sugestion technique). Jadi, dengan melakukan autogenic training, seorang atlet dapat mengubah sendiri kondisi kefaalannya. Ia juga dapat mengatur dan mengendalikan pemunculan emosinya pada tingkatan yang dikehendaki.
Beberapa contoh dari latihan ini adalah latihan untuk merasakan berat dan panas pada anggota gerak, dengan ungkapan, "Saya rasakan le¬ngan kanan saya berat", "saya rasakan lengan kanan saya panas dan re¬laks." Latihan pemapasan atau pengaturan aktivitas jantung dan paru¬paru, dengan contoh ungkapan, "Pemapasan saya lebih tenang dan de¬nyut jantung saya berdetak lebih lambat". Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin pada perut clan dahi. "Da-hi dan perut saya lebih dingin." Jadi, latihan autogenik merupakan suatu latihan yang menitikberatkan munculnya kemampuan pengendalian gejolak emosi pada tubuh.
Kemudian, sekitar tahun 1950-an, seorang tokoh beraliran behavior¬istik, Joseph Wolpe, melakukan modifikasi dari teknik relaksasi milik Jacobsen. Wolpe menganggap bahwa teknik milik Jacobsen tersebut me¬makan waktu terlalu lama. Ia lalu merancang teknik yang lebih pendek, lebih sederhana, dan lebih mudah dilakukan. Teknik ini dikenal dengan narna latihan relaksasi progresif yang merupakan dasar untuk melakukan pengebalan sistematik (systematic desensitization). Teknik ini digunakan untuk menangani seseorang yang memiliki masalah ketegangan dan ke¬cemasan. Mereka yang membutuhkan dapat diajarkan untuk melakukan teknik tersebut sendiri, dengan mempergunakan alat biofeedback (EMG).
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang digunakan, baik oleh Jacobsen maupun Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, ke¬mudian bermunculan model-model relaksasi barn sebagaimana yang di¬kemukakan oleh Bernstein & Borkovec (1973) dan Bernstein & Geffen (1984).
Dalam perkembangan selanjutnya, latihan relaksasi progresif digu¬nakan sebagai teknik tersendiri, tidak lagi sebagai bagian dari pendekatan behavioristik. Awalnya, latihan relaksasi progresif ini digunakan oleh pa¬sien penderita kecemasan atau ketegangan yang bersumber pada gejolak emosinya.Latihan relaksasi progresif juga dapat dilakukan melalui suatu alat yang dikenal dengan sebutan biofeedback atau EMG (elektromyografi). EMG memiliki fungsi mencatat atau merekam intensitas ketegangan otot¬otot seseorang, untuk kemudian ditampilkan dalam bentuk ukuran angka¬angka, misalnya +3 atau +10. Dengan menggunakan alat tersebut, sese¬orang dapat memantau tingkatan ketegangan sebelum maupun sesudah dilakukan latihan.
Dengan adanya kemampuan untuk memantau perubahan tingkatan ketegangan pada diri sendiri, maka ketegangan otot-otot dapat diatur sampai pada keadaan relaks yang dikehendaki. Arti praktisnya adalah, seseorang dapat mengatur ketegangan-ketegangan ototnya menjadi lebih relaks, sehingga gejolak emosinya pun menjadi lebih tenang. Apabila penggunaan biofeedback telah dilakukan berkali-kali, maka relaksasi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun, tanpa membutuhkan alat biofeed¬back lagi.
Oleh karma itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar latihan relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis. Apabila seseorang telah beberapa kali ber¬hasil dalam keadaan relaks, maka pengelompokan otot dapat diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Lengan dan tangan bersama-sama.
2. Semua otot muka.
3. Dada, pundak, punggung bagian atas, perut.
4. Pinggul dan pangkal paha.
5. Kaki dan tapak kaki.
Contoh lain dari modifikasi tersebut adalah teknik pernapasan atau breathing technique. Teknik ini banyak dilakukan oleh para atlet karma da¬pat dilakukan di sembarang tempat, misalnya di pinggir arena pertan¬dingan, saat menunggu waktu untuk bermain, demikian pula pada saat gejolak emosi sedang memuncak, misalnya pada malam sebelum pertan¬dingan, atau beberapa jam sebelum pertandingan.
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
1. Meningkatnya pemahaman mengenai ketegangan otot. Artinya, ada pemahaman bahwa gejolak emosi berpengaruh terhadap ketegangan otot dan sebaliknya.
2. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan ketegangan otot.
3. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan kegiatan kognitif, yaitu meliputi kemampuan pemusatan perhatian terhadap suatu objek
4. Meningkatnya kemampuan untuk melakukan kegiatan.
5. Menurunnya ketegangan otot.
6. Menurunnya gejolak emosi karena pengaruh perubahan kefaalan.
7. Menurunnya tingkat kecemasan, serta emosi-emosi negatif lainnya.
8. Menurunnya kekhawatiran dan ketakutan.
Selain latihan relaksasi progresif, dalam melakukan perubahan atau rnodifikasi suatu perilaku, dikenal pula suatu teknik yang disebut sebagai systematic desensitization atau teknik pengebalan sistematik.
Jika terdapat suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan tidak menguntungkan sehingga mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan ditampilkan dalam emosi tegang, maka tentu akan berakibat buruk terhadap penampilan. Seorang atlet dapat Baja merasakan ketakutan-ke¬takutan tertentu pada saat bertanding, seperti hal-hal yang berkaitan de¬ngan lawan tandingnya, suhu arena atau cuaca pada umumnya, angin, sorakan penonton, atau penilaian dari tokoh-tokoh tertentu yang sedang menyaksikan.
Namun demikian, keadaan-keadaan seperti ini merupakan hal yang mutlak harus dihadapi. Oleh karena itu, seorang atlet harus mampu menghadapi keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan sebagaimana disebutkan di atas. Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi terse-but merupakan keterampilan individual dan khusus yang diajarkan oleh pelatih atau psikolog olahraganya.
Teknik pengebalan sistematik (systematic desensitization) merupakan latihan bertahap untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu rangsang, sehingga terbentuk habituasi atau pembiasaan. Suatu rangsang yang awalnya menimbulkan gejolak emosi yang sangat tinggi, melalui latihan sistematik tertentu, lambat-laun tidak lagi dipersepsikan negatif. Secara bertahap, akan terjadi pengurangan atau pengenduran reaksi emosi, se¬hingga gejolak emosi pun menjadi stabil.
Jadi, sumber rangsang tidak diubah atau diganti, melainkan di dalam diri atlet terjadi perubahan secara sistematik Gejolak emosi yang pada awalnya sangat tinggi saat menghadapi suatu keadaan, lambat-laun men¬jadi berkurang. Ini merupakan prinsip sistematik desensitisasi, atau upaya untuk mengatur reaksi-reaksi emosi yang bergejolak dalam batas-batas proporsi yang wajar dan tidak merugikan.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental meditation atau meditasi transendental. Teknik ini merupakan relaksasi yang dikembangkan dari tradisi India, diperkenalkan di Amerika pada awal tahun 1960-an oleh se¬orang pendeta India, Maharishi Mahesh Yogi.
Keith Wallace dari UCLA merupakan salah satu psikolog pertama yang menyelicliki mengenai teknik tersebut. Penelitian Wallace (1971) me¬nunjukkan bahwa teknik tersebut memberikan efek luar biasa pada tubuh, yaitu detak jantung menurun sampai stabil clan peredaran asam laktat menjadi tiga kali lebih cepat dibandingkan saat beristirahat biasa.
Meditasi transendental merupakan teknik mental yang dapat di¬praktekkan setiap pagi dan malam selama 15 sampai 20 menit, saat sese¬orang duduk nyaman dengan mats tertutup sambil memikirkan suatu 'mantera' tertentu. Setelah 20 menit, ketegangan tubuh akan mengenclor total dan orang yang bersangkutan akan mengalami kondisi yang segar dan dinamis, percaya diri, serta siap untuk beraksi.
Meditasi transendental dilakukan seseorang dengan memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan ke¬giatan tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang nyaman, tanpa terganggu atau teralih perhatian dan konsentrasinya. Apabila hal tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh keadaan relaks.
Selama meditasi, tubuh akan mencapai tahap sadar sepenuhnya na¬mun tanpa beban pikiran apa pun. Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap menghadapi rangsang apa pun, serta siap memberikan respons yang sesuai dan optimal.
2. Strategi Kognitif
Strategi kognitif didasari oleh pendekatan kognitif yang menekankan bahwa pikiran atau proses berpikir merupakan sumber kekuatan yang ada dalam diri seseorang. Jadi, kesalahan, kegagalan, ataupun kekecewaan, tidak disebabkan oleh objek dari luar, namun pada hakikatnya bersumber pada inti pikiran atau proses berpikir seseorang.
Misalnya, seorang atlet bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttle¬cock karena berat atau kecepatannya berbeda dari biasanya, karena yang menentukan sesuai atau tidaknya caranya memukul dan kekuatan pu¬kulan adalah proses berpikir atlet tersebut. Jadi, yang seharusnya diubah adalah pengendali perilaku atlet, dalam hal ini gerakan atau pukulannya, agar dapat menyesuaikan dengan keadaan khusus. Dari penjelasan ini, tampak bahwa proses kognitif merupakan sumber dari semua perilaku pada atlet.
Salah satu kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain saya." Kegiatan ini merupakan ke¬giatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses ber¬pikirnya.
Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Per¬golakan tersebut berasal dari tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni trait anxiety.
3. Teknik-teknik Peredaan Ketegangan

Hanya mengetahui "apa" atau "the what"saja mengapa atlet tegang atau takut tanpa mengetahui "the how" atau "bagaimana" cara penyembuhannya tidaklah banyak man¬faatnya dan tidak akan menolong atlet. Oleh karena itu, pelatih sebaiknya juga mempersenjatai diri dengan kete¬rampilan bagaimana cara meredakan ketegangan yang ada pada atlet. Ada beberapa teknik yang bisa membantu menu¬runkan atau mengurangi ketegangan atlet (desensitizatioll, techniques). Antara lain:
a. Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan mengu¬rangi arti pentingnya pertandingan dalam benak atlet, atau mengurangi ancaman hukuman kalau atlet gagal.
b. Teknik Cratty. Dengan teknik ini, mula-mula disusun suatu urutan (hierarki) anxiety yang dialami atlet, dari Yang paling ditakuti sampai yang paling kurang ditakuti oleh atlet. Pada permulaan, atlet dihadapkan pada situ¬asi yang paling sedikit membangkitkan anxiety. Setelah atlet terbiasa dan tidak takut lagi dengan situasi terse-but, dia kemudian dilibatkan dalam situasi takut yang agak lebih berat. Demikian seterusnya.
c. Teknik progressive muscle relaxation dari Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot yang tegang dijadikan relaks.
d. Teknik autogenic relaxation, yaitu toknik relaksasi Yang menekankan pada sugesti diri (self-suggestion).
e. Latihan pernapasan dalam (deep breathing).
f. Meditasi.
g. Berpikir positif.
h. Visualisasi.
i. Latihan simulasi: pada waktu latihan, berlatihlah de¬ngan menciptakan situasi seakan-akan sedang betul¬betul bertanding, dan usahakan untuk tampil sebaik¬baiknya. Lakukan latihan dengan intensitas yang tinggi seperti dalam pertandingan sebetulnya. Biarkan atlet mengalami stres fisik maupun mental.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan ber¬kurang pada waktu menghadapi stres.
4. Mehanisme pertahanan diri
Anxiety, kekhawatiran, dan ketakutan yang berke¬camuk dalam diri atlet adalah gejala yang umum dalam olahraga. Anxiety dan ketakutan adalah reaksi terhadap perasaan "khawatir akan terancam pribadinya". Karena anxiety yang dialami atlet adalah sesuatu keadaan yang sangat tidal? enak dan selamanya akan berkecamuk dalam kehidupan seorang atlet, maka dibutuhkan suatu mekanis¬me di dalam kepribadiannya untuk inenolongitya inengotasi atau ineinb,-baskan dirinya dari anxiety tersebut. Mekanis¬me ini biasanya disebut security operation atau defense inechanisin. Jadi mekanisme ini berfungsi sebagai alai agar kepribadiannya tidak merasa terancam. Sering kali meka¬nisme ini bekerja demikian efektif sehingga atlet benar¬benar terlindung dari perasaan cemas tersebut.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim manajer, pengurus dan lain-lain.
Memang mungkin saja alasan yang dikemukakan atlet, pelatih, Tim Manajer, Pengurus, KONI, dan lain-lain me¬mang betul karena lapangan licin, bola tidak bundar, banyak angin, penonton ribut. Akan tetapi kebanyakan alasannya tidak rasional dan hanya merupakan manifestasi dari pera¬saan kecewa karena mengalami kegagalan, serta kedok agar terhindar dari perasaan cemas dan takut akan dikritik, di-cemooh, dikecam oleh masyarakat, dan agar mereka tidak disalahkan oleh masyarakat atas kekalahan atau kegagalan mereka. Karena itu penyebab kegagalannya dilimpahkan kepada orang atau benda lain di luar dirinya.
Sebagai pelatih, kita harus mendidik dan melatih para atlet agar tidak membiasakan diri menggunakan defense inechanisin yang tidak wajar sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas. Sebab-sebab dari setiap kegagalan haruslah didiskusikan, dievaluasi, dianalisis secara rasional, intelek¬tual dan inteligen. Pelatih harus mengajarkan dan mendidik atlet agar tidak meremehkan kegagalan, dan menilai setiap kegagalan dengan penuh pemahaman dan pengertian yang wajar. Dengan demikian dapatlah diharapkan pula bahwa maturitas mental para atlet sedikit demi sedikit dapat dikembangkan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat simpulkan antara lain :
1. bahwa (a) atlet harus dilatih agar tingkat Kecemasan, stress dan ketegangannya makin lama makin rendah (tapi jangan hilang sama sekali), dan (b) ambisinya untuk menang semakin ditingkatkan.
2. Menjadi semakin penting untuk memberikan latihan-latihan peredaan kecemasan, stress dan ketegangan kepada atlet-atlet atau anak didik.
3. petunjuk-petunjuk peredaan Anxiety dan kecemasan akan efektif apabila diberikan pada saat-saat men¬jelang permulaan dan akhir pertandingan.

B. Saran
Membahas tentang anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya maka ada beberapa saran yang dapat digaris bawahi dalam makalah ini antara lain :
1. Didalam memahami anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya diharapkan setiap individu mampu dan memahami tentang anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya. Pada hakikatnya setiap individu diharapkan mampu memahami anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya ini, yakni keluarga pendidik dan penentu kebijakan yang berkepentingan didalamnya sebagai tempat atau wadah pengembang pendidikan agar menjadi lebih luas dalam perkembanganan pendidikan terutama perkembangan psikologi olahraga dalam pendidikan jasmani dan olahraga.
2. anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya tidak dapat dipisahkan karena ketiganya saling mempengaruhi didalam meningkatkan dan mengembangkan prestasi atlet.



Daftar Pustaka
Bakker, F.C., Whiting, "I.T.A., & Van der Brug. (1990). Sport psychology, concepts and applications. New York: John Wiley & Sons.

Cratty, B.J. (1973). Psychology in contemporary sport. New York: Prentice Hall, Inc.

Eberspacher, H. (1982). Sportpsychologie, Grundlagen, Methoden, Analysers. Rowohlt: Reinbek.

Harsono. (1988). Coaching dan aspek-aspeh psihologis
dalam coaching. Jakarta: C.V. Tambak Kusuma.

Harsono. (1990). Metode Mengajarkan Keterampilan Olah¬raga. Lokaharya Pendidihan Berpihir, IKIP Ban¬dung. Makalah.

Loehr, J.E. (1986). Mental toughness training for sports., New York: A Plume Book.

McKinney, R. (1988). Archery. Tokyo: Sakamoto Kikaku¬shitsu.

Oxendine, J.B. (1968). Psychology of motor learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Vanek, M. & Cratty, B.J. (1970). Psychology of the supe¬rior athlete. London: The Macmillan Company.

Weinberg, R.S. (1988). The mental advantage. Cham¬paign, Illinois: Leisure Press.

Andersen, M.B. (2000). Doing sport psychology (Edit.). Champain IL.: Human Kinetics.

Bunker, L.K., Rutella, R.J. & Reilly, A.S. (1985)..Sport Psychology. Michigan: McHaughton & Gunn Inc.

Cardinell, C. (1980). Teacher burnout: An analysis. Action inTeacher Educa-tion.2 (4).

Cox, R.H. (1985). Sport Psychology. Iowa: Wm.C. Brown Publ.
Cox, R.H. (1994). Sport Psychology: Concepts and applications. Dubuque, IA: Brown & Benchmark.

Cratty, B.J. (1989). Psychology in Contemporary Sport. NJ: Prentice Hall, Englewood, Cliffs.

Fisher, A.C. (1976). Psychology of Sport. Palo Alto: Mayfield Publ. Co.

Fixx, J.F. (1985). Maximum Sports Performance. New York: Random House. Freudenberger, H.J. (1974). Staff burnout. Journal of Social Issues. 30 (1). Gould, D. (1988). Sport psychology: Future directions in youth sport re search. In F.L. Smolt, R.A. Magill, & M.J. Ash (Eds.), Children in Sport (3" ed.). Champain IL: Human Kinetics.

Goffi, C. (1984). Tournament Tough. London: Ebury Press.

Gunarsa, S.D. (1990). Psikologi Olahraga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Gunarsa, S.D., Satiadarma, M.P. & Soekasah, M.H.R. (1996): Psikologi Olah¬raga: Teori dan Praktik. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Gunarsa, S.D. (2(XX)). "Sumbangan Psikologi bagi Dunia Olahraga", Dalam Supratiknya, Faturrochman & Haryanto S.: Tantangan Psikologi Menghadapi Milenluin Baru. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM.

Gunarsa, S.D. (2000). Psikologi Olahraga dan Penerapannya untuk Bulutangkis. Jakarta: UPT. Penerbitan, UNTAR.

Haag, H. (1986). "Comparative sport pedagogy - comparative education: a basic interrelationship within educational sciences", dalam: Krotee, M.L. & Jaeger, E.M. (1986). Comparative Physical Education and Sport. Vol. 3.

Heil, J. (Ed.). (1993). Psychology of Sport Injury. Champain IL: Human Kine-tics.
Hellstedt, J.C. (1987). "Sport psychology at the ski academy. Teaching mental skills to young athletes", The Sport Psychologist, 1, 56-68.

Kroll, W. & Gunderscheirn, J. (1982). Stress factors in coaching. Coaching Science Update. 47-49.

Kubler-Ross, E. (1969). On Death and Dying. New York: Mcmillan.
Loehr, J.L. (1994). The New Toughness Training for Sports. New York: Penguin Books.

Martens, R. (1987). Coaches Guide to Sport Psychology. Champain IL: Human Kinetics Publ.

Martens, R., Vealy, R.S. & Burton, D. (1990). Competitive Anxiety in Sport. Champain IL: Human Kinetics.

Maslach, C. (1978). The client role in staff burnout. Journal of Social Issues. (34).

Murphy, S.M. (Ed.). (1995). Sport Psychology Interventions. Champain IL: Human Kinetics.

Nideffer, R.M. (1985). Athletes' Guide to Mental Training. Champain IL: Hu-man Kinetics.

Nideffer, R.M. (1992). Psych to Win. Champain IL: Human Kinetics.

Orlick, T. (1986). Psyching for Sport: Mental Training for Athletes. Champain IL: Human Kinetics.

Orlick, T. & Partington, J. (1989). Psych: Inner Views of Winning. Ottawa, Canada: Coaching Association of Canada.

Orlick, T. (1990). In pursuit of excellence. Champain IL: Leisure Press.

Orlick, T., Zitzelberger, L., Li-Wei, Z. & Qi-wei, M. (1992). "The effect of mental-imagery training on performance enhancement with 7-10 year-old children", The Sport Psychologist, 6,230-241.

Porter, K. & Foster, J. (1986). The Mental Athlete. Dubuque, Iowa: WM C. Brown Publ.

Satiadarma, M.P. (2000). Dasar-dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Schurr, K.T., Ashley, M.A. & Joy, K.L. (1977). "A multivariate analysis of male athlete characteristics: Sport type and success", Multivariate Ex-perimental Clinical Research, 3, 54-68.

Singer, R.N. (1984). Sustaining Motivation in Sport. Tallahassee, Florida: Sport Consultants International, Inc.

Singer, R.N. (1986). Peak Performance and More. Ithaca, New York: Mouve-ment Publ. Inc.

Spielberger, C.D. (1966b). Anxiety and Behavior. New York: Academic Press. Spielberger, C.D. (1972). Anxiety: Current Trends in Theory and Research. New York: Academic Press.

Straub, W.F. (1980). Art of Athlete Behavior. Ithaca, New York:
Mouvement, Publ. Inc.

Suinn, R. (1990). Psychological Techniques for Individual Performance. New York: Macmillan.

Unestahl, L.E. (1986). Contemporary Sport Psychology. Orebro: Veje Publ. Inc.

Wallace, K. (1971). Dalam: Kanellakos, C. Transcendental meditation ... what's it all about. Dalam: Fisher, A.C. (1978). Psychology of sport. Palo Alto: Mayfield Publ. Co.

Warren, W. (1983). Coaching and Motivation Englewood Cliffs: Prentice-Hall. Weinberg, R.S. & Gould, D. (1995). Foundations of Sport and Exercise Psycho¬logy. Champain IL: Human Kinetics.

William, J.M. (Ed.). (1998). Applied Sport Psychology: Personal Growth to Peak Performance( ed.). Mountain View, CA: Mayfield.